Ikhbar.com: Prof. Dr. Nadhirsyah Hosen, Ph.D menegaskan bahwasannya Kiai Abbas Buntet Pesantren merupakan ulama ahli fiqih, bukan hanya pendekar yang menguasai ilmu kanuragan.
Pendapat tersebut diungkapkan Nadhirsyah Hosen setelah bercerita akan pengalaman ayahnya, Ibrahim Hosen yang merupakan santri Kiai Abbas Buntet Pesantren.
“Saat itu tak banyak santri yang berkesempatan ngaji langsung kepasa Kiai Abbas. Karena saat itu Kiai Abbas sudah tidak mengajar lagi secara umum, beliau hanya mencari santri khusus,” kata Nadhirsyah Hosen saat menjadi pembicara pada Simposium Internasional yang digagas oleh Yayasan Lembaga Pendidikan Islam (YLPI) dan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Buntet Pesantren. Selasa, (6/12/2022).
Nadhirsyah Hosen menceritakan, dahulu ayahnya datang dari Bengkulu ke Buntet Pesantren karena mendengar nama besar Kiai Abbas.
Waktu abah saya datang, Kiai Abbas dengan mata elangnya melihat bakat tersendiri yang asa pada diri ayah saya. Maka ketika abah saya mengatakan ‘Di mana saya tinggal?’ Kiai Abbas menjawab ‘Tinggal di rumah saya’, ayah saya pun akhirnya belajar khusus dengan Kiai Abbas,” katanya.
Meski dikenal dengan ilmu kanuragan dan kesaktiannya, kata dia, Ibrahim Hosen tidak mewarisi kesaktian Kiai Abbas tersebut.
“Abah saya tidak mendapatkan wirid atau hizib dari Kiai Abbas. Hanya ngaji dan dibuka wawasannya oleh beliau,” terang Nadhirsyah Hosen.
Ia menceritakan, ketika ayahnya berkesempatan berceramah di acara haul Buntet, Ibrahim Hosen pernah berkisah pengalamannya saat berguru kepada Kiai Abbas.
“Kalau saya diizinkan oleh Kiai Abbas untuk membuka semua ilmu yang beliau sampaikan kepada saya, maka saat ini mungkin orang akan menganggap darah saya halal,” kata Ibrahim Hosen kala itu sebagaimana diceritakan oleh puteranya.
Hal itu bukan tanpa sebab, Gus Nadhir menjelaskan, saat ayahnya mengaji kepada Kiai Abbas, beliau mengajarkan perbandingan madzhab yang kala itu masih menjadi hal yang tabu.
“Sekitar tahun 50-an waktu Abah saya mengaji, umumnya pesantren hanya mengenal Madzhab Syafii. Tapi Kiai Abbas mengajarkan Abah saya fiqih muqorin atau fiqih perbandingan madzhab, yakni di luar fiqih 4 madzhab,” jelas Guru Besar Ilmu Hukum Monash University itu.
Menurutnya, pada saat itu, belum banyak Kiai yang tahu tentang madzhab Dzhohiri. Akan tetapi, Kiai Abbas mengajarkan kepada ayahnya tentang ilmu tersebut.
Dalam kesempatan itu, Gus Nadhir mencontohkan satu pelajaran mengenai perbandingan mazhab yang diperoleh ayahnya dari Kiai Abbas, yakni tentang perwalian dan persaksian dalam pernikahan.
“Begitu masuk fiqih munakahat, ketika ada pertanyaan sah kah nikah tanpa wali (dan) tanpa saksi? Nikah tanpa wali sah menurut Imam Abu Hanafi. Syaratnya adalah Balighah dan Rasyidah, dia harus sudah dewasa dan dia cerdas,” katanya.
“Nikah tanpa saksi, sah kah? Imam Malik mengatakan sah asalkan qabla dukhul, dia sudah sampaikan kepada masyarakat bahwa sudah menikah dengan si A,” lanjut Gus Nadir.
Pertanyaannya, kata Gus Nadhir, sah kah nikah tanpa wali dan tanpa saksi? Madzhab mana yang membolehkan?
“Kiai Abbas mengajarkan kepada abah saya madzhab Dzhohiri,” katanya.
“Sampai beliau mengatakan begini kepada abah saya ‘Kalau menikah tanpa wali, tanpa saksi kemudian orang bertanya ‘itu siapa’, jangan dijawab ‘Itu istrimu’ dari madzhab Dzhohiri, karena orang tidak akan paham. Jawab saja ‘Ini saudara saya atau apa’. Karena dikhawatirkan akan heboh nantinya,” jelas Gus Nadhir.
Meski demikian, Gus Nadhir mewanti-wanti bahwa ilmu ini jangan langsung diikuti oleh santri pemula. Karena ilmu ini hanya untuk kajian tingkat tinggi.
Di akhir pembicaraan Gus Nadhir, ia mengungkapkan alasan kenapa Kiai Abbas lebih tenar dengan gelar pendekar ketimbang ilmu fiqihnya.
“Di situlah kehebatan Kiai Abbas, orang-orang hanya tahu gelar pendekarnya. Hal itu Karena beliau begitu tawadhu,” ujarnya.
Pasalnya, kata Gus Nadhir, di masa itu sudah ada KH Hasyim Asyari, KH Wahab Chasbullah. Maka Kiai Abbas lebih menonjolkan sisi pendekarnya.
“Maka sisi lain memperkuat sisi lain, yakni beliau menguasai ilmu kebatinan. Meskipun Kiai Abbas begitu paham dengan ilmu fiqih tingkat tinggi,” katanya.
Untuk itu, kata Gus Nadhir, idealnya santri Buntet saat ini, mampu menggabungkan antara keduanya. Ahli ilmu kebatinan dan juga ahli fiqih.