Ikhbar.com: Sekelompok warga Muslim di kawasan Tanintharyi turut ambil bagian dalam perlawanan terhadap rezim militer Myanmar. Mereka bergabung dengan kelompok pemberontak Karen National Union (KNU), yang didominasi oleh orang-orang Kristen dan Buddha, untuk menumbangkan kekuasaan junta militer yang telah mengambil alih pemerintahan melalui kudeta pada 2021 lalu.
Pasukan Muslim ini secara resmi dikenal sebagai Kompi 3 Brigade 4 KNU, tetapi lebih dikenal dengan sebutan “Kompi Muslim.” Mereka beranggotakan sekitar 130 orang yang kini menjadi bagian dari puluhan ribu pejuang perlawanan terhadap militer Myanmar.
Pemimpin Kompi Muslim, Mohammed Eisher (47) menjelaskan, mereka akan memperjuangkan kebebasan bagi semua kelompok.
“Kami semua tertindas selama militer masih berkuasa,” kata Eisher, sebagaimana dikutip dari Al Jazeera, Sabtu, 19 Oktober 2024.
Baca: Mengunjungi Gereja di Afrika Selatan yang Kini Jadi Markas Gerakan Pro-Palestina
Ia juga berharap keberagaman di dalam pasukan anti-militer dapat mengurangi ketegangan antarbudaya dan regional yang sering kali menjadi penyebab konflik di Myanmar.
Sejarah Panjang Perlawanan Muslim
Muslim Myanmar telah lama mengalami penindasan di bawah kekuasaan militer. Mereka sering dijadikan kambing hitam oleh pemerintah militer yang bekerja sama dengan kelompok biksu nasionalis garis keras. Hal ini menyebabkan Muslim di Myanmar, termasuk komunitas Muslim di Tanintharyi yang memiliki keturunan Arab, Persia, India, dan etnis lokal seperti Pashu, harus menghadapi penindasan agama dan pengabaian hak-hak kewarganegaraan.
Kompi Muslim ini memiliki akar sejarah dalam perlawanan Muslim terhadap militer. Pada 1983, ketika terjadi kerusuhan anti-Muslim di Moulmein (sekarang Mawlamyine), sekelompok pengungsi Muslim membentuk Kawthoolei Muslim Liberation Front (KMLF) di wilayah yang dikuasai KNU. Kelompok ini kemudian berkembang menjadi All Burma Muslim Liberation Army (ABMLA), yang akhirnya pada 2015 resmi bergabung dengan KNU sebagai Kompi 3, atau dikenal sebagai Kompi Muslim.
Di dalam Kompi Muslim, ada sekitar 20 perempuan, termasuk Thandar (nama samaran), seorang petugas medis berusia 28 tahun yang bergabung pada Oktober 2021.
“Saya akan tetap di sini sampai revolusi berakhir,” katanya.
Baca: Warga Muslim di Inggris Dikepung Teror
Perjuangan mereka juga diwarnai dengan pengorbanan besar. Seperti yang dialami Mohammed Yusuf (47), pemimpin salah satu unit pejuang. Pada 20 tahun yang lalu, saat membersihkan ranjau, Yusuf kehilangan penglihatannya akibat ledakan. Namun, ia tetap berjuang demi kebebasan.
“Saya ingin kebebasan untuk semua rakyat Burma,” katanya.
Sejak kudeta 2021, militer Myanmar semakin dibenci oleh banyak kalangan, bukan hanya oleh etnis minoritas Muslim, tetapi juga sebagian besar rakyat Myanmar. Kondisi ini, menurut salah satu administrator Kompi Muslim, memberikan peluang bagi semua orang untuk meraih kebebasan.