Ikhbar.com: Pagi buta, sekitar jam 4 subuh pada pekan kedua perang di Gaza, Palestina, Yasmeen Joudah terbangun lantaran ponselnya terus berdering tanpa henti. Setelahnya, dia amat terkejut ketika membaca pesan dari banyak orang bahwa seluruh keluarganya telah mati.
Tak pikir panjang, Joudah langsung berlari menelusuri jalan-jalan menjelang fajar. Dia bergegas menuju rumah orang tuanya yang sudah rata dengan tanah usai dihujam roket Israel.
Keluarga Joudah sedang tertidur ketika sebuah rudal Israel menarget rumah empat lantai tersebut. Kejadian itu pun membuat puluhan keluarganya terkubur reruntuhan puing dan beton.
“Saya begitu lemas dan tanpa daya ketika menyaksikan tubuh demi tubuh ditarik keluar dari bawah reruntuhan,” katanya, dikutip dari Al Jazeera, Kamis, 16 November 2023.
Baca: 25 Ribu Ton Bom telah Dijatuhkan Israel ke Gaza
Duka bayi Melissa
Joudah mengaku tubuhnya bertambah lemas ketika melihat Melissa, keponakannya yang baru berusia 16 bulan sudah tak bergerak sama sekali. Tubuh anak dari saudara perempuanya yang biasanya selalu ceria dan baru bisa berjalan beberapa minggu lalu itu, ditarik keluar dengan kondisi yang benar-benar terdiam. Semua orang mengira dia sudah mati.
Pecahan peluru akibat serangan udara Israel telah bersarang di sumsum tulang belakang Melissa. Akibatnya, Melissa mengalami kelumpuhan dari dada ke bawah.
Kepala Departemen Ortopedi Rumah Sakit (RS) Martir Al-Aqsa, Dr Ayman Harb mengatakan, bayi Melissa sangat membutuhkan perawatan medis di luar negeri.
“Ada beberapa pecahan peluru yang terjepit di tulang belakang T12 serta patah tulang di sumsum tulang belakangnya,” kata Dr Harb.
“Fisik gadis kecil itu stabil, dalam artian dia kuat hingga hanya mengalami kelumpuhan dari dada ke bawah,” lanjutnya. “Tetapi fisioterapi dan dukungan moral harus menjadi langkah berikutnya,” sambung Harb.
Menurut Harb, pecahan peluru yang berada di tubuh Melissa berisiko mengakibatkan infeksi dan komplikasi yang bisa merembet dan menyebabkan kegagalan pada banyak organ.
“Saat ini kami sedang menangani kasus-kasus yang belum pernah kami lihat dalam buku kedokteran kami,” katanya, seraya menambahkan bahwa sejauh ini, dia telah merawat 12 pasien yang menjadi lumpuh akibat serangan Israel.
Namun, saat ditanya peluang Melissa, Harb menyatakan cukup pesimistis.
“Masa depannya akan penuh penderitaan,” katanya terus terang. “Paling tidak, dia akan menghabiskan sisa hidupnya di kursi roda,” tutupnya.
Hanya Melissa yang tersisa
RS. Martir Al-Aqsa selayaknya rumah sakit lain yang ada di Jalur Gaza. Keberadaannya hampir sudah tidak berfungsi karena hanya mengandalkan generator bertenaga surya dan sangat kekurangan pasokan medis dan personel. RS ini bukanlah rumah sakit pusat yang besar seperti RS. Al-Shifa yang saat ini sedang diserang oleh tentara Israel. RS. Martir Al-Aqsa dibangun cuma berkapasitas untuk melayani Kota Deir el-Balah dan hanya memiliki 16 dokter.
Di rumah sakit tersebut, kesedihan Joudah kian tak terbendung di saat seluruh anggota keluarganya yang malang itu sudah berhasil diidentifikasi.
“Semua telah pergi,” katanya.
“Kelima saudara saya tewas. Ibuku, kedua bibiku, anak perempuan dan anak laki-laki mereka, dan kakak iparku,” kata Joudah, merintih, sedih.
Dari keluarga dekatnya, Joudah menghitung ada 32 anggota yang terbunuh dan sebagian besar dari mereka adalah perempuan. Ayah dan ibu Melissa, serta banyak anak lainnya juga tewas.
“Sehingga total anggota keluarga yang meninggal menjadi 68 orang,” kata Joudah.
Sedangkan bayi Melissa yang kini tinggal bersamanya sedang menunggu persetujuan untuk bisa meninggalkan Gaza melalui perbatasan Rafah dengan Mesir. Melissa sedang diperjuangkan untuk mendapatkan perawatan medis lebih lanjut.
“Aku akan menaruhnya di hatiku,” kata Joudah.
“Hanya dia yang tersisa bagiku,” sambungnya.
Serangan Israel telah menewaskan lebih dari 11.000 warga Palestina, 8.000 di antaranya anak-anak dan perempuan. Serangan Israel terus membabi-buta hingga menyasar rumah sakit di Jalur Gaza bagian utara. Akibatnya, layanan dan komunikasi terputus hingga jumlah korban tewas tidak bisa diperbarui dengan mudah.
Direktur jenderal kantor media pemerintah di Gaza, Ismail Thawabta menyebutkan, sejauh ini sudah ada 11.180 warga Palestina yang tewas. Dari jumlah itu, sebanyak 4.607 adalah anak-anak.
“Lebih dari 3.000 orang masih berada di bawah reruntuhan, termasuk 1.700 anak-anak,” tambahnya.