Ikhbar.com: Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengungkap mayoritas anak bisa main judi online (Judol) lantaran mengakses gim daring palsu. Mereka masuk ke permainan judi bukan dengan mengeklik situsnya secara langsung.
“Berdasarkan identifikasi yang kita lakukan, anak-anak ini bermain judi online umumnya melalui game online,” ungkap Direjtur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemenkominfo, Usman Kansong, di Jakarta, Jumat, 26 Juli 2024.
“Judi online yang berkamuflase seolah-olah dia game online, ya gitu. Ada yang seperti itu,” lanjutnya.
Baca: Habib Ja’far Ungkap Alasan Berdakwah lewat Game Online
Sebelumnya, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap ratusan ribu warga di bawah 19 tahun terlacak main judi online dengan nilai transaksi ratusan miliar rupiah.
Modus game online itu, kata Usman, adalah terutama lewat janji-janji memberi kemenangan.
“Umumnya adalah dia memang konten judi online. Judi online, tetapi dia mempromosikan diri seolah-olah dia game online. Misalnya, ada top-up dulu untuk bermain, kemudian dijanjikan menang, begitu kan. Nah, itu sudah kita curigai sebagai, apa namanya, judi online,” tutur dia.
Merespons fenomena ini, lanjut Usman, pihaknya sudah menerbitkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 2 Tahun 2024 tentang Klasifikasi Gim sejak Februari 2024.
Baca: 80 Ribu Anak di Bawah 10 Tahun Kecanduan Judi Online, Kata KPAI
“Dalam aturan tersebut penerbit game harus melakukan klasifikasi game online berdasarkan usia; ada kategori 3 tahun ke atas, ada kategori 5 tahun ke atas ya; 7 tahun; 13, 15, dan 18 tahun,” urainya.
“Nah, di dalam Permenkominfo tersebut jelas dinyatakan game tidak boleh mengandung judi online untuk klasifikasi usia berapa pun,” jelas Usman.
Meski begitu, pihaknya menduga game online yang diam-diam mengandung konten judi online itu bukan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) yang resmi terdaftar.
“Kalau tadi ditanyakan apakah mereka (anak) ada yang mengakses (judi online via) situs, seperti saya sampaikan tadi, hasil identifikasi kita hampir seluruhnya lewat game, yang pura-pura jadi game itu lho,” terangnya.
“Karena kalau game yang benar, game online yang benar, yang terdaftar, kan semua PSE kan harus mendaftar ya, ini ya mungkin kita belum menemukan ada yang menyusupkan game online,” imbuh dia.
Selain lewat penerbitan regulasi, Kominfo juga bekerja sama dengan sejumlah pihak, termasuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), yang juga dilibatkan dalam Satgas Pemberantasan Judi Online.
“Jadi di dalam tim penindakan penindakan ada unsur Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, jadi kita masukkan.”
KPPPA, lanjutnya, punya beberapa program yang terkait judi online pada anak ini, termasuk program SAPA (Sahabat Perempuan dan Anak), yang memberikan konsultasi psikologis kepada anak-anak yang terlibat judi online.
Sebelumnya, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ivan Yustiavandana mengungkap secara keseluruhan ada 197.054 anak pada rentang usia 11-19 tahun yang melakukan deposit judi online senilai Rp293,4 miliar dalam 2,2 juta transaksi.
“Kami menemukan luar biasa banyak transaksi yang terkait dengan anak-anak yang melakukan judi online,” kata dia.
Pertama, kelompok usia 17-19 tahun, dengan jumlah pemain judi online mencapai 191.380 orang dengan 2,1 juta kali transaksi yang nilainya Rp282 miliar.
Kedua, kelompok 11 sampai 16 tahun. Jumlah pemain judol mencapai 4.514 anak. Transaksinya sebanyak 45 ribu kali dengan nilai Rp7,9 miliar.
Ketiga, kelompok usia di bawah 11 tahun. Pemain judi online-nya mencapai 1.160 orang anak dengan 22 ribu transaksi dengan nilai sedikitnya Rp3 miliar.
“Semua itu anak-anak sekolah, anak-anak yang sedang menimba ilmu atau pun yang sedang dipersiapkan untuk menjadi pemimpin masa depan Indonesia,” tandas Ivan.