Universitas Edinburgh Akui ‘Dosa’ Sejarah Penyebaran Sains Rasisme

Tengkorak Guanches, orang-orang yang tinggal di Kepulauan Canary sebelum ditaklukkan oleh Spanyol, yang berasal dari abad ke-14 dan ke-15. Foto: The Guardian/Jeremy Sutton-Hibbert

Ikhbar.com: Universitas Edinburgh, Inggris, menyimpan koleksi sekitar 1.500 tengkorak manusia di sebuah ruangan khusus, yang menyoroti keterlibatan institusi tersebut dalam sejarah kelam frenologi, sebuah pseudoscience (ilmu semu) rasis yang populer pada abad ke-19.

Laporan investigasi universitas mengungkapkan bagaimana koleksi ini menjadi bukti peran Edinburgh dalam menciptakan dan melanggengkan gagasan superioritas kulit putih, yang diajarkan kepada ribuan mahasiswanya.

Baca: Perlawanan Rasulullah terhadap Rasisme

Ratusan tengkorak dalam koleksi tersebut dikumpulkan para pendukung frenologi, yang secara keliru meyakini bahwa bentuk tengkorak dapat menunjukkan kecerdasan dan karakter seseorang.

Tengkorak-tengkorak ini berasal dari berbagai belahan dunia, sebagian diambil tanpa izin dari penjara, rumah sakit jiwa, situs arkeologi, dan medan perang di wilayah koloni Kerajaan Inggris.

Ketua anatomi Universitas Edinburgh yang kini mengawasi koleksi tersebut, Profesor Tom Gillingwater, mengakui masa lalu yang problematis ini.

“Kita tidak bisa lari dari fakta bahwa sebagian (tengkorak) ini dikumpulkan dengan tujuan yang sangat jelas untuk mengatakan, ‘Ini adalah orang dari ras tertentu, dan bukankah mereka lebih rendah dari orang kulit putih’. Kita tidak bisa lari dari kenyataan itu,” ujar Profesor Tom Gillingwater, dikutip dari The Guardian, pada Senin, 28 Juli 2025.

Salah satu kasus yang menonjol adalah tengkorak Richards bersaudara, George dan Robert Bruce, mahasiswa keturunan AfrikaEropa yang meninggal pada tahun 1830-an.

Tengkorak mereka diduga diambil oleh Edinburgh Phrenological Society untuk mempelajari perbedaan rasial pada individu yang mereka kategorikan sebagai “mulatto“.

Kini, pihak universitas menghadapi tantangan kompleks dalam upaya keadilan reparatif.

Baca: Mengenal Ziryab, Seniman Muslim Pengubah Selera Musik hingga Busana di Eropa

Proses repatriasi, atau pengembalian sisa-sisa leluhur ke komunitas asalnya, sedang berlangsung meskipun berjalan lambat.

Lebih dari 100 tengkorak telah berhasil dipulangkan. Namun, menurut Gillingwater, setiap kasus membutuhkan waktu bertahun-tahun karena melibatkan proses identifikasi forensik yang rumit dan negosiasi dengan komunitas keturunan yang berbeda-beda.

Banyak dari tengkorak tersebut kemungkinan besar tidak akan pernah teridentifikasi. Gillingwater mengungkapkan bahwa hal ini menjadi beban moral baginya.

“Yang bisa saya tawarkan saat ini hanyalah kami terus merawat mereka. Kami bisa menjaga mereka dan memperlakukan mereka dengan martabat serta rasa hormat yang pantas mereka dapatkan,” pungkasnya.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.