Ikhbar.com: Kementerian Agama (Kemenag) menyoroti pentingnya menjaga kehangatan rumah tangga agar tidak terkikis oleh penggunaan teknologi yang makin intens.
Kepala Biro Humas dan Komunikasi Publik Kemenag, Thobib Al-Asyhar, mengingatkan bahwa perkembangan digital seharusnya menjadi alat untuk memperkuat hubungan, bukan memutus kedekatan.
Thobib menilai teknologi punya dua sisi. Manfaatnya besar, tetapi risiko pada relasi keluarga juga nyata.
“Teknologi itu seperti pisau bermata dua. Ia bisa memperpendek jarak komunikasi, tapi juga dapat memperlebar jarak emosional. Karena itu, keluarga harus belajar mengendalikan teknologi, bukan dikendalikan olehnya,” ujarnya saat menjadi narasumber dalam Seminar Pelestarian Perkawinan dan Ketahanan Keluarga di Era Disrupsi yang digelar BP4 Pusat di Kantor Bupati Karawang pada Rabu, 12 November 2025.
Dalam materi berjudul Perkembangan Teknologi Informasi dan Pengaruhnya terhadap Ketahanan Keluarga, Thobib menegaskan bahwa digitalisasi tidak dapat dielakkan. Yang perlu dibangun adalah kebijaksanaan dalam menggunakannya. Menurutnya, teknologi harus tetap netral.
Baca: Syarat Pelunasan Haji 2026
Di sisi lain, cara manusia memanfaatkannyalah yang menentukan apakah ia menjadi sarana kebaikan atau penyebab renggangnya hubungan.
Ia menyoroti kecenderungan manusia menjadi tidak sabar akibat kemudahan digital. Proses yang serba cepat membuat perhatian mudah terpecah.
“Segalanya serba instan, tapi hati jadi lebih cepat lelah dan fokus sering hilang. Ini yang harus diwaspadai,” katanya.
Sementara itu, fenomena phubbing_ juga menjadi perhatian Thobib. Perilaku menunduk pada layar di hadapan orang terdekat membuat banyak keluarga tampak hadir secara fisik, tetapi absen secara emosional. Ia mengingatkan bahwa anak belajar paling kuat dari keteladanan orang tua.
“Anak belajar dari contoh, bukan hanya tontonan. Orang tua yang bijak digital adalah guru terbaik di rumah,” tegasnya.
Tak hanya itu, perubahan pola interaksi di era digital juga ia soroti. Banyak hubungan menjadi mekanis karena semua berlangsung cepat dan otomatis. Klik, scroll, dan emoji sering menggantikan sentuhan dan empati. Padahal cinta dan kehangatan tidak dapat tergantikan simbol digital.
Ia menjelaskan, keluarga perlu menciptakan ruang interaksi tanpa gawai. Makan bersama, beribadah bersama, atau momen santai seharusnya menjadi waktu untuk menghadirkan perhatian penuh.
“Family digital time bukan sekadar aturan, tapi ruang bagi cinta tumbuh kembali. Saat makan malam atau ibadah bersama, letakkan dulu gawai. Hadirkan diri, bukan hanya sinyal,” ucapnya.
Ia menambahkan, bahwa tekanan kerja berbasis digital sering merembet ke rumah. Sistem kerja daring yang fleksibel dapat menghapus batas antara pekerjaan dan waktu keluarga.
Thobib mengingatkan agar stres digital tidak membawa dampak pada keharmonisan rumah. Rumah harus tetap menjadi tempat beristirahat, bukan perpanjangan ruang kerja.
Di bagian penutup, Thobib mengajak keluarga Indonesia untuk menjadikan teknologi sebagai sarana mempererat kasih sayang.
“Gadget bukan musuh. Ia akan jadi sahabat jika dikendalikan dengan kebijaksanaan dan empati,” pesannya.