Agar Dakwah Digital tak Terganjal

“Banyak yang tersandung bukan sebab berniat buruk, tetapi karena abai. Mereka lupa dunia digital memperbesar apa pun, termasuk kekeliruan,” kata Gus Sobih.
Ilustrasi dakwah digital. Olah Digital oleh IKHBAR

Ikhbar.com: Dunia digital tidak mengenal kalimat “hilang ingatan.” Begitu sebuah kata ditulis atau sebuah video diunggah, jejaknya melekat dan dapat muncul kapan saja, bahkan setelah maksud awal pengunggahnya terlupakan.

Kesadaran ini berulang kali disampaikan CEO Ikhbar Group, KH Sobih Adnan, di hadapan sekitar seratusan santri di halaman Ma’had Al-Iktisyaf, Pondok Pesantren Gedongan Cirebon, dalam Workshop Digitalisasi Pesantren: Optimalisasi Pemanfaatan Media Digital dalam Peningkatan Syiar Dakwah Pesantren, pada Kamis, 11 Desember 2025.

Dalam acara yang terselenggara berkat dukungan Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama (Kemenag) RI ini, hadir pula sebagai narasumber, Gus Shofi Mubarok (Dosen UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon, dan Ning Ivana Amelia (influencer).

Baca: Santri Harus Beretika di Media Sosial

Gus Sobih, sapaan karibnya, mengajak para peserta memahami bahwa dakwah kini berlangsung di ruang yang besar, terbuka, dan tidak menyediakan kesempatan menghapus jejak. Sekali sebuah konten dirilis, jejaknya menyertai pengunggahnya selamanya.

Dia mengingatkan bahwa prinsip pengawasan Ilahi kini terlihat melalui aktivitas digital yang meninggalkan rekam jejak permanen. Gus Sobih mengutip QS. Qāf 18, Allah Swt berfirman:

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ اِلَّا لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ

Tidak ada suatu kata pun yang terucap, melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap mencatat.

Ayat ini, menurut Gus Sobih, tercermin pula dalam cara dunia digital bekerja.

“Setiap ketikan itu tercatat,” ujarnya.

“Setiap unggahan, komentar, dan rekaman suara ikut ditimbang. Jika malaikat mencatat ucapan, maka algoritma dan pengguna lain mencatat apa yang kalian sebarkan,” lanjutnya.

Sosok yang juga tercatat sebagai salah satu anggota Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Ketitang Cirebon ini menegaskan bahwa konten yang dilepas ke ruang publik terbuka terhadap penyimpanan ulang, pemotongan, manipulasi, hingga penyebaran kembali oleh siapa saja.

“Kalian mungkin merasa sudah menghapus kesalahan, tetapi dunia digital tidak menyediakan halaman baru. Sistem hanya menumpuk catatan,” tegasnya.

CEO Ikhbar Group, KH Sobih Adnan, saat menjadi narasumber dalam Workshop Digitalisasi Pesantren: Optimalisasi Pemanfaatan Media Digital dalam Peningkatan Syiar Dakwah Pesantren, di Ma’had Al-Iktisyaf, Pondok Pesantren Gedongan Cirebon, pada Kamis, 11 Desember 2025. Dok AL-IKTISYAF

Baca: Ini Tantangan Besar Pesantren di Era Digital

Memahami cara kerja algoritma

Gus Sobih kemudian mengajak para santri mengenali dinamika ruang digital yang sarat arus informasi dan bergerak mengikuti logika algoritma. Ia menggambarkan media sosial sebagai alun-alun, bukan asrama. Di asrama orang saling mengenal dan memahami konteks, sementara di alun-alun semua orang asing dan setiap tindakan mudah dipahami secara berbeda.

“Di ruang seperti itu, kesalahan kecil terlihat besar, potongan pendek dianggap utuh, dan ucapan biasa bisa diartikan sebagai serangan,” jelasnya.

Ia memaparkan cara algoritma memilih konten bukan berdasarkan nilai atau pesan, melainkan berdasarkan tingkat respons. Konten dakwah yang tenang bisa tertutup, sedangkan cuplikan marah atau kata sensitif berpeluang menjangkau banyak layar.

“Algoritma itu buta nilai. Ia tidak membedakan dakwah dengan provokasi. Yang ia tangkap hanya keramaian,” ujar Gus Sobih.

Fenomena seperti potongan ceramah tanpa konteks, meme yang berubah menjadi urusan hukum, hingga komentar spontan yang berakhir pada konflik, ditunjukkannya sebagai contoh yang sering muncul.

“Banyak yang tersandung bukan sebab berniat buruk, tetapi karena abai. Mereka lupa dunia digital memperbesar apa pun, termasuk kekeliruan,” katanya.

Baca: Pesantren Diajak Perkuat Literasi Medsos lewat Penerapan Rumus 4A, Apa Itu?

Niat baik saja tidak cukup

Dalam bagian berikutnya, Gus Sobih menekankan bahwa dakwah digital tidak bertumpu pada keikhlasan saja. Ada aturan yang harus ditaati agar dakwah tetap berjalan tanpa hambatan. Dengan nada yang tenang, ia mengingatkan bahwa Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menilai akibat dari suatu konten, bukan maksud pengunggahnya.

“Seseorang bisa bermaksud menyampaikan hikmah, tetapi jika kalimatnya melukai kehormatan orang lain atau memicu permusuhan, proses hukum tetap berjalan,” tuturnya.

Ia mencontohkan kritik yang disampaikan dengan nada keras bisa dipahami sebagai serangan personal, sementara potongan ceramah tanpa konteks dapat memicu salah paham banyak orang.

Menurut Gus Sobih, tidak sedikit yang terseret perkara dan mengaku tidak pernah bermaksud menyinggung siapa pun.

“Itulah kenyataannya. Niat baik tidak selalu menjadi pelindung,” katanya.

Hal yang sama berlaku dalam UU Perlindungan Data Pribadi (PDP). Gus Sobih mengingatkan bahwa wajah, nomor telepon, alamat, hingga isi percakapan termasuk data pribadi dan tidak boleh dibagikan tanpa izin.

“Kadang orang merasa biasa saja mengunggah foto temannya,” ujarnya. “Padahal itu tetap bisa dipersoalkan. Syariat pun mengingatkan agar kita tidak membuka aib dan privasi orang lain.”

Baca: CEO Ikhbar.com: Skeptis Penting untuk Jaga Kewarasan di Era Banjir Informasi

Dakwah yang selamat dan menyelamatkan

Menutup pemaparannya, Gus Sobih menekankan karakter sebagai fondasi utama dakwah. Bagi dirinya, dakwah digital bukan persoalan teknis membuat konten, tetapi kemampuan menjaga adab ketika menghadapi ruang publik yang keras dan tak berwajah. Santri perlu tampil sebagai teladan, bukan hanya melalui isi dakwah, tetapi juga melalui cara memerlakukan audiens, lawan debat, dan pihak yang berbeda pandangan.

Ia mengingatkan kebiasaan buruk yang marak di media sosial, seperti membalas komentar dengan emosi, menyerang pribadi, atau menyebarkan sesuatu tanpa memastikan kebenarannya. Semua itu berpengaruh pada kredibilitas dan dapat menghambat dakwah.

“Kalau dakwah ingin sampai, bahasanya harus selamat. Dan kalau dakwah kalian ingin menyelamatkan, akhlaknya harus lebih dulu muncul,” katanya.

Gus Sobih menutup penyampaiannya dengan pesan inti bahwa dakwah digital menuntut keberanian dan kesadaran.

“Jangan sampai syiar kebaikan terganjal hanya karena kalian lupa bahwa dunia digital mencatat segala hal,” pungkasnya.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.