Puasa Bikin Lemas dan Gampang ‘Ngantuk’ Ternyata Mitos, Begini Faktanya!

Ilustrasi. Dok. ODUA

Ikhbar.com: Bagi banyak orang Indonesia, terutama saat Ramadan, rasa lemas dan kantuk sering dianggap sebagai “paket lengkap” dari ibadah puasa. Anggapan itu sudah terlanjur mengakar. Otak disebut perlu asupan terus-menerus, dan jika terlambat makan, konsentrasi dianggap pasti terganggu.

Namun, sebuah tinjauan ilmiah justru membantah pandangan tersebut.

“Pesan bahwa kita harus terus makan agar tetap waspada ternyata tidak sekuat yang dibayangkan,” kata Profesor Psikologi dari Universitas Auckland, David Moreau, dalam We Were Wrong About Fasting, Massive Review Finds (2025) di Science Alert, dikutip Sabtu, 8 November 2025.

Baca: Puasa 10 Jam Setiap Hari Bisa Perbaiki Suasana Hati, Kata Peneliti

Penelitian itu merangkum 71 studi independen selama hampir tujuh dekade, melibatkan 3.484 peserta dan 222 jenis pengukuran kognitif. Fokus utamanya sederhana, “Apakah orang yang berpuasa benar-benar mengalami penurunan kemampuan berpikir dibandingkan mereka yang baru makan?”

“Hasilnya cukup mengejutkan. Tidak ada perbedaan berarti antara orang dewasa yang berpuasa dan yang sudah makan dalam tes perhatian, memori, maupun fungsi eksekutif,” tegasnya.

Temuan ini relevan, terutama bagi umat Islam yang menjalani puasa sebulan penuh setiap tahun. Kekhawatiran umum seperti takut tidak fokus bekerja, mengantuk saat rapat, atau performa mental menurun karena perut kosong ternyata tidak didukung data ilmiah. Pada orang dewasa sehat, ketajaman kognitif tetap stabil meski tidak makan dalam rentang waktu tertentu.

Tinjauan itu juga menjelaskan mekanismenya. Tubuh manusia dapat beralih sumber energi setelah sekitar 12 jam tanpa makanan. Ketika simpanan glukosa menipis, tubuh memecah lemak menjadi keton, bahan bakar alternatif bagi otak.

“Peralihan metabolik ini menjaga suplai energi tetap stabil,” ujar Moreau.

Proses lain seperti autofagi (pembersihan sel) dan peningkatan sensitivitas insulin turut memperbaiki fungsi tubuh secara keseluruhan.

Baca: Muhammadiyah Tetapkan 1 Ramadan dan Idulfitri 2026, Ini Jadwalnya!

Hanya, memang, ada batasnya. Penelitian menemukan tiga kondisi ketika puasa memang berdampak pada performa mental.

Pertama, faktor usia. Anak-anak menunjukkan penurunan kognitif saat melewatkan makan.

“Otak yang sedang berkembang lebih sensitif terhadap fluktuasi energi,” kata Moreau. Karena itu, sarapan tetap penting bagi anak-anak.

Kedua, waktu pengujian. Kinerja orang yang berpuasa cenderung menurun jika tes dilakukan menjelang sore, saat ritme sirkadian memang sedang turun. Puasa memperkuat penurunan alami tersebut.

Ketiga, konteks tugas. Jika tes menyertakan rangsangan terkait makanan, peserta yang lapar lebih mudah terdistraksi.

“Rasa lapar tidak menciptakan kabut otak, tetapi membuat perhatian lebih mudah terpancing oleh hal-hal yang berhubungan dengan makanan,” ujar Moreau.

Di luar tiga kondisi tersebut, hasil penelitian konsisten menunjukkan bahwa puasa tidak merusak ketajaman mental orang dewasa. Bagi pekerja yang berminat menjalani pola makan terbatas waktu atau puasa intermiten, risikonya relatif kecil selama kondisi kesehatan memadai.

“Puasa adalah alat, dampaknya selalu bergantung pada individu,” katanya.

Temuan itu memberi kabar baik bagi mereka yang menunaikan puasa, baik karena ibadah maupun pilihan gaya hidup, tanpa perlu takut kehilangan kejernihan berpikir.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.