Ikhbar.com: Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB sekaligus mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Prof. Dr. Rokhmin Dahuri, menegaskan bahwa Indonesia memiliki potensi blue food atau pangan bahari terbesar di dunia.
Menurutnya, optimalisasi sektor ini dapat menjadi game changer (faktor penentu) dalam mewujudkan swasembada pangan dan mencapai visi Indonesia Emas 2045.
Prof. Rokhmin, sapaan akrabnya, menjelaskan bahwa blue food tidak terbatas pada hasil laut, melainkan mencakup seluruh pangan yang berasal dari ekosistem perairan, termasuk perairan tawar seperti danau, waduk, dan tambak.
Baca: Sinikhbar: Islam Bahari ala Rokhmin Dahuri
Potensi produksi perikanan Indonesia, yang mencakup perikanan tangkap dan budidaya, diperkirakan mencapai 115 juta ton per tahun.
“Kalau berbicara potensi, Indonesia adalah nomor satu di dunia dengan potensi produksi perikanan mencapai sekitar 115 juta ton per tahun,” ujarnya, dikutip dari siniar Bogor Natur Indonesia BNGi, pada Selasa, 2 September 2025.
Angka tersebut jauh melampaui kebutuhan konsumsi nasional yang saat ini berada di kisaran 15 juta ton per tahun. Kelebihan produksi ini, menurutnya, membuka peluang ekspor yang sangat besar.
Saat ini pun, neraca perdagangan sektor perikanan Indonesia telah mencatatkan surplus tahunan sebesar 5,8 miliar dolar AS atau setara dengan Rp95,7 triliun.
Lebih lanjut, Prof Rokhmin menyoroti pentingnya inovasi teknologi untuk memaksimalkan potensi tersebut. Ia mencontohkan keberhasilan Tiongkok dalam mengembangkan varietas padi yang dapat dibudidayakan di perairan laut melalui rekayasa genetika.
Inovasi serupa diyakini dapat menjadikan blue food sebagai sumber karbohidrat masa depan, selain sebagai pemasok utama protein hewani.
“Ke depan, blue food tidak hanya berbicara tentang protein, tetapi juga tanaman pangan. Ini sejalan dengan semangat ‘Berdikari’ yang digaungkan sejak era Bung Karno,” tambahnya.
Baca: Prof. Rokhmin: Mangrove Karunia Allah Penjaga Kehidupan
Dari sisi lingkungan, produksi pangan akuatik memiliki carbon footprint (jejak karbon) yang paling rendah dibandingkan dengan peternakan darat. Hal ini menjadikan pengembangan blue food sebagai solusi ketahanan pangan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Untuk mewujudkan potensi raksasa ini, Prof. Rokhmin menekankan perlunya empat syarat daya saing, yaitu kualitas unggul, harga kompetitif, pasokan berkelanjutan, dan proses yang ramah lingkungan.
Ia menyimpulkan bahwa keberhasilan pemanfaatan blue food bergantung pada tata kelola yang baik, sumber daya manusia (SDM) yang unggul, serta penguatan riset dan pengembangan (R&D).