Prof. Rokhmin: Blue Carbon dan Kolaborasi Regional Jadi Kunci Mitigasi Iklim ASEAN

Anggota Komisi IV DPR RI, Prof. Dr. Ir. H. Rokhmin Dahuri, dalam Pertemuan Anggota Parlemen Asia Tenggara tentang Perubahan Iklim yang digelar TARA Climate Foundation bersama ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) pada Selasa, 25 November 2025. Foto: Dok. AIPA

Ikhbar.com: Anggota Komisi IV DPR RI, Prof. Dr. Ir. H. Rokhmin Dahuri, menegaskan bahwa negara-negara ASEAN harus memperkuat kolaborasi regional dan memaksimalkan potensi ekosistem pesisir untuk menghadapi krisis iklim global.

Hal itu disampaikan dalam Pertemuan Anggota Parlemen Asia Tenggara tentang Perubahan Iklim yang digelar TARA Climate Foundation bersama ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) pada Selasa, 25 November 2025.

Menurut Prof. Rokhmin, kawasan ASEAN memiliki keunggulan komparatif berupa kekayaan hayati, populasi besar, dan pertumbuhan ekonomi yang cepat. Meski demikian, ia mengingatkan bahwa transisi menuju pembangunan rendah karbon masih menghadapi hambatan.

Baca: Prof. Rokhmin Ungkap 3 Syarat agar Indonesia Jadi Negara Maju

“ASEAN punya potensi luar biasa, terutama ekosistem blue carbon. Tetapi tanpa kolaborasi yang kuat, potensi itu tidak akan optimal,” ujarnya.

Pertemuan ini dihadiri 26 delegasi dari enam negara, yakni Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina. Hadir dari Indonesia antara lain Prof. Rokhmin Dahuri, Mercy Chriesty Barends, Rahayu Saraswati, dan Ravindra Airlangga.

Dalam forum tersebut, para anggota parlemen membahas strategi memperkuat aksi iklim melalui pertukaran kebijakan, dialog berbasis bukti, serta eksplorasi mekanisme implementasi Nationally Determined Contributions (NDCs) dan Long-Term Low Emissions Development Strategies (LEDS). Delegasi juga menyoroti kemungkinan penetapan harga karbon di kawasan ASEAN sebagai langkah kolektif.

Prof. Rokhmin memberikan penekanan khusus pada besarnya potensi blue carbon di Asia Tenggara. Ia menjelaskan bahwa mangrove mampu menyimpan karbon hingga empat kali lebih tinggi dibandingkan hutan daratan, sementara padang lamun terbukti menyerap karbon 35 kali lebih cepat dibandingkan hutan hujan tropis.

“Lahan gambut kita bahkan menyimpan karbon selama ribuan tahun dengan retensi per hektare yang jauh lebih tinggi. Ini aset strategis untuk mitigasi iklim,” kata Rokhmin.

Selain mitigasi, forum juga membahas prioritas adaptasi iklim. Adaptasi ini meliputi penguatan infrastruktur pesisir, pemulihan ekosistem, kesiapsiagaan komunitas, serta pembaruan regulasi dan instrumen keuangan. Para peserta menilai bahwa adaptasi yang kuat sangat penting untuk menjaga ketahanan masyarakat terhadap cuaca ekstrem, kenaikan muka laut, dan gangguan terhadap sumber daya pangan.

Meski Indonesia memiliki komitmen kuat pada Perjanjian Paris, Prof. Rokhmin mengakui bahwa tantangan domestik masih besar. Biaya transisi menuju energi terbarukan dinilai masih tinggi, sementara kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang rentan menuntut kebijakan inklusif.

“Transisi hijau tidak boleh meninggalkan masyarakat kecil. Kebijakan iklim harus adil dan berpihak,” tegasnya.

Ia juga menyoroti permasalahan tumpang tindih regulasi dan perizinan yang kompleks. Menurutnya, hambatan ini berdampak langsung pada lambatnya implementasi proyek hijau dan aliran investasi berkelanjutan.

Pertemuan anggota parlemen ini menjadi momentum penting untuk menyelaraskan aksi iklim kawasan. Prof. Rokhmin menegaskan bahwa ASEAN harus memanfaatkan keunggulan komparatifnya dan mempererat kerja sama antarnegara.

“Jika ekosistem blue carbon kita dikelola secara optimal, ASEAN bukan hanya memperkuat mitigasi iklim, tetapi juga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” ujarnya.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.