Pesantren Ada sebelum NU Lahir

Pengurus Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Hatim Ghozali dalam Program Dinamika Pesantren Nusantara, hasil kolaborasi MUI TV dan Kementerian Agama. Foto: Dok. MUI

Ikhbar.com: Pesantren telah menjadi fondasi utama lahirnya tradisi keislaman Nusantara jauh sebelum berdirinya organisasi keagamaan modern. Di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU), pesantren tidak hanya berperan sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga pusat dakwah, penguatan nilai keagamaan, sekaligus ruang pemberdayaan sosial masyarakat.

Pandangan tersebut disampaikan Pengurus Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Hatim Ghozali. Ia menegaskan, kuatnya peran pesantren bersumber dari akar sejarah dan relasi sosialnya yang telah menyatu dengan kehidupan umat Islam di Indonesia.

Pernyataan itu disampaikan dalam Program Dinamika Pesantren Nusantara, hasil kolaborasi MUI TV dan Kementerian Agama (Kemenag), dikutip pada Selasa, 29 Desember 2025.

Kiai Hatim menjelaskan, pesantren telah eksis jauh sebelum NU berdiri. Bahkan, kelahiran NU tidak bisa dilepaskan dari peran para kiai pesantren yang sejak awal mengembangkan pendidikan Islam berbasis masyarakat.

Baca: Hasil Kesepakatan Musyawarah Kubro Alim Ulama dan Sesepuh NU di Lirboyo

“Pesantren itu sudah ada jauh sebelum NU ada. NU justru didirikan oleh kiai-kiai pesantren,” ujar Kiai Hatim.

Ia menambahkan, pada fase awalnya pesantren belum berbentuk institusi formal. Pesantren bermula dari hubungan langsung antara kiai dan santri dalam ikatan guru dan pencari ilmu.

“Seiring waktu, relasi tersebut berkembang menjadi lembaga yang dikenal sebagai pesantren,” kata dia.

Dalam tradisi pesantren NU, peran kiai tidak dapat disamakan dengan kepala sekolah sebagaimana sistem pendidikan formal. Kiai memiliki kedudukan sosial yang lebih luas.

“Kiai di pesantren itu bukan kepala sekolah. Kiai itu tokoh masyarakat,” katanya.

Menurut Kiai Hatim, hampir seluruh persoalan sosial masyarakat bermuara kepada kiai pesantren, tidak sebatas urusan pendidikan.

“Semua persoalan masyarakat datang ke kiai. Anaknya bermasalah datang ke kiai, keluarganya bermasalah datang ke kiai, mau nikahan juga datang ke kiai,” ujarnya.

Ia juga menegaskan bahwa pesantren pada hakikatnya merupakan lembaga swasta yang lahir dari inisiatif masyarakat. Negara, kata dia, tidak memiliki kewenangan mendirikan pesantren sebagaimana diatur dalam regulasi yang berlaku.

“Semua pesantren itu swasta. Pesantren adalah inisiatif masyarakat. Negara tidak punya kewenangan membuat pesantren,” tegasnya.

Dalam pengelolaannya, pesantren NU umumnya dijalankan secara mandiri oleh kiai dan keluarga. NU tidak menguasai atau mengambil alih kepemilikan pesantren, melainkan berfungsi sebagai jejaring dan wadah asosiasi antar-pesantren.

Terkait pembiayaan, pesantren NU bertumpu pada swadaya kiai dan dukungan masyarakat. Sumber dana berasal dari berbagai sektor, mulai dari hasil sawah, ladang, aktivitas dakwah, hingga partisipasi jamaah.

“Banyak pesantren NU itu gratis. Mondoknya gratis, makannya juga gratis. Kiai membiayai dari sawah, ladang, atau dari hasil ceramah,” ungkapnya.

Ia bahkan mencontohkan pesantren dengan jumlah santri mencapai ribuan yang seluruh kebutuhan pendidikannya ditanggung kiai tanpa memungut biaya dari santri.

Berdasarkan data yang disampaikan, jumlah pesantren di Indonesia saat ini sekitar 43 ribu. Dari angka tersebut, sekitar 80% berada di lingkungan NU dengan karakter yang sangat beragam.

“Jumlah pesantren sekitar 43 ribu, dan sekitar 80 persennya berada di NU,” jelasnya.

Keragaman itu terlihat dari model pendidikannya. Sebagian pesantren NU menyelenggarakan pendidikan formal, seperti satuan pendidikan muadalah dan Ma’had Aly, meski jumlahnya belum mencapai seribu. Selebihnya merupakan pesantren nonformal yang fokus pada pengkajian kitab kuning.

Kiai Hatim mencontohkan pesantren di wilayah Banten dan Aceh yang sepenuhnya nonformal. Santri datang untuk mengaji, membangun tempat tinggal sederhana secara mandiri, serta membawa bekal sendiri tanpa tercatat sebagai peserta didik negara.

“Mereka belajar, mengaji kitab kuning, tapi tidak tercatat sebagai peserta didik negara,” katanya.

Dalam kesempatan tersebut, ia juga menyoroti persoalan pengakuan negara terhadap pendidikan pesantren, khususnya pesantren salaf nonformal. Banyak santri, menurutnya, menjalani proses belajar intensif dari pagi hingga malam, namun tidak diakui sebagai proses pendidikan formal.

“Banyak santri belajar dari bangun tidur sampai tidur lagi, tapi tidak dianggap belajar karena tidak punya ijazah formal,” ujarnya.

Ia menambahkan, sistem pendidikan pesantren justru memperoleh pengakuan di sejumlah negara lain.

“Di Mesir, lulusan pesantren salaf bisa langsung diterima. Sementara di negara sendiri belum sepenuhnya diakui,” kata dia.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.