Ikhbar.com: Dorongan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Prof. Dr. KH Abdul Mu’ti agar guru memberi pekerjaan rumah (PR) berupa resensi buku mendapat perhatian luas. Pasalnya, upaya tersebut dinilai relevan dengan kebutuhan peningkatan budaya literasi nasional.
Pada kebijakan tersebut, membaca dan menulis ditegaskan sebagai fondasi penting pembelajaran yang tidak bisa digantikan oleh sekadar latihan soal.
Kiai Mu’ti menilai bahwa PR seharusnya tidak hanya berisi kumpulan soal hafalan, tetapi mendorong siswa aktif membaca dan mengekspresikan pemahaman mereka.
Baca: Mendikdasmen Siapkan ‘Kado’ untuk Guru pada 28 November 2026, Apa Isinya?
“Pekerjaan rumah itu penting, tetapi bukan hanya mengerjakan soal. PR mestinya menugaskan anak membaca dan menulis, seperti membuat resensi atau review buku,” ujarnya dikutip dari laman Kemendikdasmen pada Jumat, 28 November 2025.
Kiai Mu’ti menekankan bahwa siswa membutuhkan ruang untuk berimajinasi dan mengaktualisasikan diri melalui kegiatan literasi.
“Ruang imajinasi dan ruang aktualisasi anak-anak harus lebih terbuka. Pendidikan tidak boleh hanya mengajarkan menjawab soal, tetapi membangun nalar jernih bagi anak-anak,” katanya.
Pakar pendidikan dari Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Sri Lestari, menilai gagasan Mendikdasmen sebagai langkah strategis untuk memperkuat kemampuan literasi peserta didik. Menurutnya, membuat resensi buku dapat melatih analisis, evaluasi, serta kemampuan berargumen secara akademik.
Namun Sri mengingatkan bahwa kondisi lapangan masih menunjukkan banyak siswa kesulitan memahami teks panjang secara utuh. Pemerintah disebut perlu menyiapkan langkah pendukung agar kebijakan ini tidak membebani siswa.
“Karena itu, kewajiban membuat resensi perlu diiringi pendampingan literasi dasar, pemantauan kemampuan membaca siswa, dan pembelajaran bertahap tentang cara menyusun resensi yang baik,” ujarnya melalui laman UM Surabaya.
Ia juga menekankan pentingnya pemerataan ketersediaan buku di sekolah. Menurutnya, sejumlah sekolah di daerah pinggiran belum memiliki bahan bacaan yang memadai.
“Jika pemerintah ingin mewajibkan resensi, maka tanggung jawab menyediakan buku berkualitas juga harus berjalan seiring baik melalui pengadaan buku fisik, pembaruan perpustakaan, maupun akses buku digital secara merata,” imbuh Sri.
Sri menilai peningkatan kemampuan literasi guru juga harus menjadi prioritas. Workshop resensi, pelatihan penulisan, hingga pemberian insentif publikasi dinilai dapat memotivasi guru untuk membangun ekosistem literasi yang kuat.
“Jika ekosistem ini dibangun dengan serius, kewajiban membuat resensi tidak hanya akan meningkatkan kemampuan membaca dan menulis siswa, tetapi juga menjadi tonggak penting dalam membentuk generasi pembelajar di masa depan,” ujarnya.
Meski demikian, Sri mengingatkan adanya tantangan lain yang harus dibereskan, seperti padatnya jam mengajar dan beban administrasi guru. Menurutnya, kondisi tersebut sering membuat guru kesulitan meluangkan waktu untuk mengembangkan kemampuan literasinya.
Ia mendorong sekolah untuk menyediakan berbagai sarana pendukung budaya literasi, seperti majalah dinding, majalah sekolah, hingga pameran karya. Aktivitas tersebut diyakini dapat memberi ruang bagi siswa untuk mempublikasikan tulisan, berdiskusi buku, dan menumbuhkan kebiasaan membaca.
“Keberhasilannya sangat bergantung pada kesiapan ekosistem pendukung: perpustakaan yang memadai, guru yang literat, kurikulum yang terintegrasi, dan kemampuan dasar siswa yang diperkuat. Tanpa itu semua, kebijakan ini berisiko tidak mencapai tujuannya,” tegas Sri.