Ikhbar.com: Pakar Hukum dan Tata Negara, Prof. Dr. Mahfud MD mengatakan bahwa persoalan besar yang kini dihadapi bangsa Indonesia bukan hanya soal kualitas demokrasi, melainkan juga rapuhnya kedaulatan hukum. Ia menegaskan, demokrasi tidak boleh berjalan sendiri tanpa hukum, begitu juga sebaliknya.
Hal itu ia sampaikan saat berbicara dalam Konferensi Demokrasi dan Supremasi Sipil yang merupakan bagian dari rangkaian Konferensi Pemikiran Gus Dur Tunas Gusdurian 2025, di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur pada Jumat, 29 Agustus 2025.
“Masalah kita sekarang adalah kedaulatan hukum kita nyaris tidak ada. Demokrasi memang hadir, tetapi berjalan liar sehingga bertabrakan dengan nomokrasi,” ujar Mahfud
Mahfud menjelaskan, demokrasi tanpa hukum akan melahirkan anarki karena aturan kehilangan daya ikatnya. Sebaliknya, hukum tanpa demokrasi hanya akan memperkuat kesewenang-wenangan penguasa.
“Negara yang sehat itu memadukan demokrasi dan nomokrasi. Itulah yang dulu diperjuangkan Gus Dur,” tegasnya.
Hukum dikebiri oligarki
Mahfud juga menyinggung praktik otocratic legalism yang kini menguat di Indonesia. Dalam kondisi tersebut, hukum tidak lagi berdaulat karena aturan dibuat atau diubah hanya demi melayani kepentingan penguasa.
“Kalau ada aturan yang menghalangi kepentingan elit, bisa diubah dalam sehari atau dibatalkan lewat Mahkamah Konstitusi (MK). Itu tanda hukum kita tak berdaulat,” jelasnya.
Ia menilai situasi ini berbahaya karena membuka ruang bagi oligarki untuk mengendalikan negara. “Kedaulatan hukum kini seakan-akan ada di tangan oligarki, bukan penegak hukum. Pelanggaran bisa dibiarkan kalau terkait kepentingan mereka,” ungkapnya.
Teladan Gus Dur
Mahfud mengingatkan, Gus Dur telah memberi contoh nyata bagaimana demokrasi dan hukum harus berjalan beriringan. Menurutnya, Gus Dur memandang demokrasi sebagai pilihan terbaik yang berlandaskan kebebasan, kesetaraan, serta kedaulatan hukum.
“Gus Dur pernah bilang, kekuasaan itu bukan sesuatu yang harus dipertahankan mati-matian. Ia tidak pernah mengorbankan rakyat demi mempertahankan jabatan,” tutur Mahfud.
Terkait demonstrasi yang marak akhir-akhir ini, Mahfud menilai unjuk rasa adalah hak konstitusional yang wajib difasilitasi negara. “Demo itu harus dilihat positif. Itu hak warga, apalagi bila menyoroti kesenjangan atau keserakahan elit,” ujarnya.
Menurutnya, aspirasi rakyat hanya bisa ditampung secara sehat bila demokrasi berjalan beriringan dengan kedaulatan hukum. Bila salah satunya hilang, negara akan rapuh.
Pandangan tokoh lain
Senada dengan Mahfud, Ketua Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), Ny. Hj. Badriyah Fayumi menegaskan bahwa Gus Dur adalah pemimpin yang konsisten menjadikan gagasannya sebagai tindakan.
“Demokrasi itu intinya ada dua: kesetaraan warga dan kedaulatan hukum. Namun, di atas politik selalu ada kemanusiaan, dan itu yang menjadi landasan Gus Dur,” ujarnya.
Ny. Badriyah juga menyoroti isu kepemimpinan perempuan. Menurutnya, di era modern kepemimpinan tak perlu lagi diperdebatkan karena semua dibatasi konstitusi.
“Gus Dur sangat kontekstual dalam memahami perubahan zaman dan menempatkan hukum sesuai konteksnya,” tambahnya.
Sementara itu, aktivis HAM, Kamala Chandrakirana menyebut demokrasi Indonesia tengah menghadapi “krisis dalam krisis”. Ia menilai, pada usia 80 tahun kemerdekaan, justru rakyat semakin terbebani pajak dan ketimpangan, sementara elit politik sibuk menaikkan gaji mereka.
“Hukum, yang seharusnya menjadi sarana mencari keadilan, justru berubah menjadi alat kekuasaan,” ungkap Kamala.
Menurutnya, kedaulatan rakyat tidak boleh dipersempit hanya pada prosedur elektoral, tetapi harus dimaknai sebagai cara pandang dan kerja rakyat yang nyata.
Gus Dur dan partisipasi sipil
Pakar Hukum Lingkungan, Laode M. Syarif turut menegaskan perbedaan gaya kepemimpinan Gus Dur dengan presiden-presiden lainnya, khususnya dalam hal pemberantasan korupsi. Menurutnya, Gus Dur selalu melibatkan masyarakat sipil dalam pengambilan keputusan, bahkan ketika menyusun kabinet.
“Gus Dur percaya pada partisipasi rakyat. Itu kontras dengan pola kepemimpinan sekarang yang cenderung kembali ke militerisme,” jelas Laode.
Ia berharap para pemimpin saat ini, termasuk Presiden Prabowo, mau kembali membaca dan menghidupkan nilai-nilai Gus Dur tentang pluralisme, antikorupsi, dan kepedulian pada lingkungan.
“Kalau semangat itu dihidupkan lagi, Indonesia pasti lebih baik,” pungkas Laode.