Ikhbar.com: Mesir tengah mempersiapkan diri sebagai tuan rumah pertemuan puncak untuk membahas situasi yang terus memburuk di Jalur Gaza. Pertemuan itu diprediksi digelar pada akhir pekan ini, Ahad, 22 Oktober 2023.
Pertemuan penting itu bakal dihadiri kurang lebih 20 peserta. Termasuk di antaranya adalah Raja Abdullah dari Yordania, Emir Tamim dari Qatar, Presiden Prancis Emmanuel Macron, Kanselir Jerman Olaf Scholz, Sekretaris Jenderal Liga Arab Ahmed Abul-Gheit, dan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres.
“Konferensi tingkat tinggi (KTT) tersebut akan berlangsung di Sharm El-Sheikh,” ungkap sumber diplomatik Mesir, sebagaimana dikutip dari Al-Ahram, Kamis, 19 Oktober 2023.
Baca: Krisis Air, Warga Gaza di ambang Napas Terakhir
Susahnya opsi gencatan senjata
Agenda utama yang dibahas dalam KTT itu di antaranya adalah terkait upaya bantuan kemanusiaan darurat, pengurangan penderitaan para pengungsi, dan kesepakatan-kesepakatan politik di masa depan.
KTT juga diperkirakan akan mengeluarkan seruan gencatan senjata antara militer Israel dan militan Hamas demi masuknya bantuan ke Jalur Gaza.
“Kami masih mencoba untuk memasukkan bahasan mengenai gencatan senjata dalam pernyataan akhir. Namun, kami tidak yakin hal ini bisa dipenuhi. Apalagi, beberapa peserta juga belum menyatakan dukungannya terhadap gencatan senjata,” kata dia.
Sumber tersebut juga menyinggung kegagalan Dewan Keamanan PBB dalam memberikan suara pada proposal Rusia yang mencakup seruan gencatan senjata pada Senin, awal pekan lalu.
Empat negara yang memberikan suara menentang resolusi tersebut adalah Amerika Serikat (AS), Inggris, Perancis, dan Jepang. Sebab, menurut mereka, resolusi tersebut tidak mengacu pada serangan Hamas di bagian selatan Israel pada 7 Oktober 2023 lalu.
Di Kairo, sumber-sumber diplomatik mengatakan prioritas utama Mesir adalah meringankan krisis kemanusiaan yang terjadi di Gaza.
Blokade akses bantuan
Direktur eksekutif Bulan Sabit Merah Palestina, Bashar Mourad mengatakan, selama seminggu terakhir, Israel menolak semua permohonan, termasuk dari PBB dan AS, tentang dibukanya akses penyaluran bantuan ke Gaza.
“Setiap kali ada bantuan yang hendak datang, Israel selalu menolak untuk membuka akses agar bantuan itu bisa segera disalurkan ke warga Gaza,” kata dia.
Badan-badan PBB, termasuk organisasi yang bertanggung jawab atas pengungsi Palestina, UNRWA, telah memperingatkan bahwa Gaza telah berada di ambang bencana setelah 10 hari pemboman yang dilakukan secara terus-menerus serta adanya evakuasi paksa Israel terhadap lebih dari satu juta warga Palestina.
Juru Bicara Kantor Hak Asasi Manusia PBB yang berbasis di Jenewa, Ravine Shamdasani menilai, pengepungan Israel atas Gaza dan perintah evakuasinya telah melanggar hukum internasional.
“Menurut peraturan Mahkamah Pidana Internasional, pemindahan paksa merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan,” tegas Shamdasani.
Meskipun ada peningkatan tekanan terhadap Israel agar segera menghentikan agresi dan membuka akses bantuan kemanusiaan, tetapi negara itu dinilai bandel jika diminta untuk mengakhiri depopulasi di wilayah utara Jalur Gaza.
Baca: Jalur Gaza dari Masa ke Masa
Dilema negara tetangga
Bagi Mesir dan Yordania, dua negara Arab yang memiliki perjanjian damai dan berbatasan langsung dengan Israel dan Palestina, sangat khawatir jika krisis tersebut malah memperluas masuknya pengungsi ke negara mereka
“Apa yang dimulai di utara Gaza belum tentu berakhir di sana dan sangat mungkin bahwa suatu saat nanti, Israel akan memulai proses depopulasi kedua di Tepi Barat dan Yerusalem,” kata seorang diplomat Arab yang berbasis di Washington.
Hal ini, tambahnya, dapat melibatkan kemungkinan masuknya pengungsi Palestina ke Mesir dan Yordania.
“Karena dua negara itu pun sebenarnya sedang menghadapi problem ekonomi yang juga parah,” katanya.
Meski begitu, Presiden Abdel-Fattah Al-Sisi dan Raja Abdullah dengan tegas mengatakan tidak akan menutup perbatasan mereka untuk warga Palestina yang sedang butuh bantuan medis atau bantuan kemanusiaan lainnya.
“Mereka hanya sangat menentang pengusiran paksa warga Palestina dari Gaza,” kata sumber tersebut.
Bagi Kairo dan Amman, ada perbedaan besar antara membantu mengatasi krisis dan membiarkan masuknya warga Palestina dalam jumlah besar. Poin yang kedua itu akan sangat memberatkan.
Berpotensi terus memanas dan meluas
Nasib para pengungsi juga diperkirakan akan mendominasi bahasan dalam pertemuan kedua pemimpin negara itu dengan Presiden AS, Joe Biden yang dijadwalkan pada Rabu depan di Amman. Pemimpin Palestina, Mahmoud Abbas membatalkan keikutsertaannya dalam pertemuan tersebut setelah Israel mengebom sebuah rumah sakit di Gaza pada Selasa lalu.
Biden dijadwalkan mendarat di Israel untuk menunjukkan solidaritasnya terhadap Negara Yahudi tersebut. Namun, Biden berdalih kedatangannya itu hanya untuk meyakinkan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu agar bisa menahan diri dan tidak melakukan invasi darat secara besar-besaran ke Jalur Gaza.
Di Kairo, sumber-sumber diplomatik asing dan Mesir juga menyampaikan kekhawatirannya mengenai konsekuensi operasi darat Israel itu. Sebab, muncul sebuah isu bahwa gerakan tersebut hanya demi memenuhi ambisi Netanyahu untuk menduduki kembali sebidang tanah di seberang perbatasan dan depopulasi di wilayah yang berdekatan dengan Gaza.