Kelamaan Riset di Luar Negeri, Seorang Peneliti Terancam Dideportasi

Asisten profesor di University College Dublin, Manikarnika Dutta (37), terancam dideportasi setelah tinggal di luar negeri terlalu lama untuk penelitiannya. Foto: The Observer.

Ikhbar.com: Seorang sejarawan asal India yang telah tinggal di Inggris selama 12 tahun, Manikarnika Dutta (37), terancam dideportasi setelah Kementerian Dalam Negeri Inggris menolak permohonan izin tinggal tetapnya.

Alasannya, Dutta dianggap menghabiskan terlalu banyak waktu di luar negeri untuk penelitian akademisnya.

Baca: Pertama dalam Sejarah! Istana Kerajaan Inggris Gelar Bukber

Dutta, yang kini menjadi asisten profesor di University College Dublin, melakukan penelitian di India sebagai bagian dari tugasnya di Universitas Oxford.

Namun, aturan imigrasi Inggris membatasi total hari yang boleh dihabiskan di luar negeri bagi pemohon izin tinggal tetap selama 10 tahun terakhir hingga 548 hari, sementara Dutta tercatat berada di luar negeri selama 691 hari.

Selain itu, Kementerian Dalam Negeri juga menolak permohonannya dengan alasan ia tidak memiliki “kehidupan keluarga” di Inggris, meskipun ia telah menikah lebih dari 10 tahun dengan Dr. Souvik Naha, seorang dosen senior di Universitas Glasgow.

“Saya terkejut ketika menerima email yang meminta saya meninggalkan Inggris,” ujar Dutta, dikutip dari The Guardian, pada Senin, 17 Maret 2025.

“Saya telah bekerja di berbagai universitas di sini dan menghabiskan sebagian besar masa dewasa saya di Inggris,” tambahnya.

Pengacaranya, Naga Kandiah, menegaskan bahwa perjalanan penelitian Dutta bukanlah pilihan, melainkan bagian penting dari pekerjaannya.

Tanpa perjalanan tersebut, ia tidak akan dapat memenuhi kewajiban akademiknya. Kandiah telah mengajukan gugatan hukum terhadap keputusan ini, sementara Kementerian Dalam Negeri menyatakan akan meninjau ulang dalam tiga bulan ke depan.

Baca: ‘Muhammad’ Jadi Nama Bayi Laki-laki Terpopuler di Inggris

Keputusan ini mendapat kecaman dari komunitas akademik. Kandiah menilai kebijakan ini merusak reputasi Inggris sebagai pusat akademik global.

“Jika Inggris ingin mempertahankan posisinya sebagai pemimpin dalam inovasi dan pendidikan, mereka harus menciptakan lingkungan yang mendukung para akademisi berbakat,” tegas Kandiah.

Kementerian Dalam Negeri menolak berkomentar lebih lanjut terkait kasus ini.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.