Ikhbar.com: Sejumlah upaya telah dilakukan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI dalam meminimalisir angka kematian pada pelaksanaan haji 2024, salah satunya mengeluarkan Kartu Kesehatan Jamaah Haji (KKJH) yang disertai QR Code.
Kepala Pusat Kesehatan Haji Kementerian Kesehatan RI, Liliek Marhaendro Susilo menjelaskan, selain sebagai tanda pengenal, QR Code pada kartu tersebut memuat sejumlah informasi riwayat kesehatan jemaah haji.
“QR Code itu kalau di-scan, isinya informasi tentang riwayat ringkas kesehatan jemaah haji tersebut. Ada nama, tanggal lahir, usia. Kemudian, kalau dia pernah sakit, sakitnya apa. Kalau dia sudah minum obat, obat apa yang diminum rutin. Sudah divaksinasi apa saja, punya alergi apa,” ujar di Jakarta pada Sabtu, 18 Mei 2024.
Menurutnya, inovasi tersebut merupakan hasil dari belajar dari pengalaman di 2023. Saat itu jemaah haji Indonesia yang meninggal mencapai 774 orang dengan mayoritas kelompok usia lanjut usia (lansia).
Baca: Jemaah Haji Diminta Hindari Kontak dengan Unta, Ini Alasannya
Oleh karena itu, kata dia, Kemenkes bersama Kementerian Agama (Kemenag) tidak ingin kejadian tahun lalu itu terulang kembali. Sehingga fokus utama penyelenggaraan ibadah haji tahun ini adalah jemaah yang diberangkatkan ke Tanah Suci harus sepenuhnya sehat dan diperiksa kesehatannya.
“Terutama, mereka yang mempunyai penyakit penyerta (komorbid) seperti hipertensi, diabetes, dan jantung, perlu dikontrol rutin kesehatannya,” katanya.
Ia mengeklaim, tahun ini pihaknya bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan Arab Saudi dan Digital Transformation Office (DTO) Kemenkes yang memfasilitasi name tag dengan QR Code.
Dia menyebut bahwa penggunaan QR Code merupakan bagian dari penyediaan ringkasan riwayat kesehatan jemaah haji atau yang dikenal dengan istilah International Patient Summary (IPS). Menurutnya, IPS diadopsi guna memenuhi permintaan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Arab Saudi.
Kelengkapan riwayat kesehatan jemaah yang dapat langsung diakses melalui QR Code diharapkan dapat memberikan penanganan cepat dan tepat jika jamaah yang bersangkutan sakit.
Liliek mengatakan, inovasi guna menekan angka jamaah haji meninggal selanjutnya adalah kriteria pengetatan istitha’ah kesehatan. Istitha’ah bermakna kemampuan jamaah haji dari aspek kesehatan, baik fisik maupun mental, yang terukur melalui pemeriksaan.
“Misalnya, dulu kalau sakit jantung atau gagal ginjal stadium 5, tidak boleh berangkat. Sekarang, stadium 4 tidak boleh berangkat. Dulu, gula darah orang yang diabetes, kami pakai kriteria yang sangat longgar. Sekarang diketatkan, HbA1c atau cek gula darahnya mesti 8 persen, kalau lebih dari itu tidak boleh berangkat,” kata Kapuskes Liliek.
Ia menjelaskan, upaya lain pemeriksaan kesehatan jemaah haji berupa penambahan asesmen. Menurutnya, haji merupakan ibadah fisik yang menuntut kesehatan fisik dan mental.
Asesmen yang ditambahkan meliputi asesmen kognitif, asesmen mental, dan asesmen aktivitas, khususnya lansia untuk melihat seberapa besar kemampuan mereka dalam melakukan aktivitas keseharian.
Demi mendukung kesehatan jemaah haji lansia, kata dia, ada pula program implementasi ramah lansia, yang sudah dimulai pada penyelenggaraan ibadah haji tahun 2023 dan kembali diterapkan secara matang di tahun 2024.
Dalam program ini, ujar dia, setiap petugas yang sudah dinyatakan lulus meskipun belum berangkat akan dilibatkan dalam kegiatan manasik haji. Pada manasik sebelum keberangkatan, terdapat kegiatan pengukuran kebugaran untuk jemaah haji. Selama manasik, kesehatan jemaah haji dimonitor untuk memastikan jemaah sudah benar-benar sehat secara fisik dan mental saat berangkat.
“Itu bentuk dari implementasi ramah lansia. Dengan kami libatkan para petugas, baik Tenaga Kesehatan Haji Indonesia (TKHI) maupun Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) yang bertugas di dalam kegiatan manasik, para petugas akan lebih dini kenal kepada jamaah yang akan berangkat,” ucap Liliek.
“Kenal lebih dini ini yang kita harapkan terjalin hubungan emosional secara pribadi,” katanya.
Liliek menuturkan, sebelumnya jamaah haji bersama petugas kesehatan pendamping bertemu di embarkasi sehingga terasa masih asing. Akibatnya, ketika di pesawat, jamaah menjadi agak sungkan. Padahal, sebagian besar jamaah adalah mereka yang belum pernah naik pesawat, jarang bepergian naik pesawat dan tidak selama waktunya perjalanan ke Jeddah, yang membutuhkan waktu 10 jam.
“Karena itu, seringkali timbul masalah-masalah kesehatan berkaitan dengan hal-hal yang sebenarnya merupakan siklus rutin. Misalnya, buang air kecil, bagaimana menggunakan toilet, mereka sungkan bertanya. Ini yang kita mesti edukasi kepada jemaah supaya selama di pesawat tetap makan dan minum,” tuturnya.
“Minumnya, jangan sampai kurang. Kalau ingin ke toilet tetap saja ke belakang. Nah, kalau kita sudah kenal lebih dulu, yang kami harapkan, jamaah tidak sungkan, tidak malu lagi bertanya dan kami minta tenaga kesehatan proaktif memberikan penjelasan. Bagaimana cara menggunakan fasilitas pesawat dan sebagainya,” jelas dia.
Untuk mempersiapkan lebih baik kondisi kesehatan jamaah haji, Liliek menyebut bahwa setelah selesai musim haji tahun 2024, persiapan kesehatan direncanakan mulai dilakukan kepada jamaah haji yang berangkat pada 2025 dan 2026.