Gusdurian Tolak Gelar Pahlawan Soeharto

Presiden Ke-2 RI, Soeharto. Foto: AFP/Agus Lolong

Ikhbar.com: Penetapan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden Ke-2 RI, Soeharto menuai gelombang penolakan dari Jaringan Guadurian. Mereka menilai keputusan tersebut tidak mencerminkan semangat keadilan dan nilai kepahlawanan yang sejati.

Gusdurian menilai, pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto dianggap mencederai ingatan kolektif bangsa terhadap masa kelam rezim Orde Baru yang penuh dengan represi dan pelanggaran hak asasi manusia.

Keputusan pemerintah yang menempatkan Soeharto sejajar dengan para tokoh berintegritas tinggi dalam sejarah Indonesia memunculkan pertanyaan mendasar, apakah sosok yang pernah berkuasa secara otoriter selama 32 tahun pantas disematkan gelar sebagai pahlawan bangsa?

Meski kiprah Soeharto pada masa awal kemerdekaan diakui, termasuk dalam pembangunan ekonomi dan swasembada pangan, namun luka sosial dan politik yang ditinggalkannya masih membekas dalam memori rakyat Indonesia.

Baca: Daftar 10 Tokoh Penerima Gelar Pahlawan Nasional

Dalam catatan sejarah, masa kekuasaan Soeharto identik dengan pelanggaran prinsip-prinsip demokrasi. Rezim Orde Baru yang ia pimpin mengekang kebebasan sipil, menindas oposisi politik, serta melanggengkan praktik korupsi dan pelanggaran HAM.

Tindakan-tindakan itu jelas bertentangan dengan semangat kepahlawanan yang mensyaratkan keteladanan dan integritas moral sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.

Bagi banyak kalangan, terutama para pegiat demokrasi, pemberian gelar tersebut dianggap sebagai langkah mundur dari cita-cita reformasi 1998. Mereka menilai penghargaan itu justru melukai perjuangan rakyat yang telah berkorban untuk mengakhiri pemerintahan otoriter.

Dalam konteks itulah, Jaringan Gusdurian menyampaikan pernyataan sikap tegas terhadap keputusan pemerintah.

Pertama, menolak secara tegas pemberian gelar pahlawan pada Soeharto dan menganggapnya sebagai sebuah pengkhianatan terhadap demokrasi dan reformasi.

Kedua, menyayangkan kepada Presiden Prabowo Subianto dan jajaran pemerintah karena memberikan gelar bukan karena alasan yang arif, namun lebih karena relasi keluarga dan politik.

Ketiga, mendesak pemerintah untuk selektif dalam memberikan gelar pahlawan di masa mendatang. Gelar tersebut hanya diberikan kepada tokoh yang tepat dan layak, yaitu mereka yang teguh memegang nilai moral, yang mengorbankan diri untuk kemaslahatan rakyat, dan bukan sebaliknya, mengorbankan rakyat atas nama kekuasaan.

Gusdurian menegaskan bahwa bukan jabatan dan kekuasaan yang menentukan seseorang dapat disebut pahlawan, melainkan karakter moral etis, terutama berkait dengan tindakan yang mengangkat kemaslahatan masyarakat dan menjaga harkat martabat manusia.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.