Ikhbar.com: Jaringan Gusdurian menilai insiden meninggalnya pengemudi ojek online (ojol) Affan Kurniawan (21) yang dilindas kendaraan taktis (rantis) Polisi Brimob saat demonstrasi di Jakarta pada Kamis, 28 Agustus 2025 menjadi sinyal kuat bahwa demokrasi Indonesia tengah berada dalam krisis serius.
Direktur Jaringan Gusdurian, Ny. Hj. Alissa Wahid menyampaikan rasa duka mendalam atas peristiwa tragis tersebut. “Tadi malam kita menerima kabar yang mengenaskan. Kami turut berduka atas meninggalnya saudara kita yang memperjuangkan hak-hak rakyat kemarin,” ujarnya saat membuka Konferensi Pemikiran Gus Dur di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur pada Jumat, 29 Agustus 2025.
Dalam kesempatan itu, Ny. Alissa mengingatkan kembali sosok Presiden ke-4 RI, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang selalu berpihak pada kepentingan rakyat.
Menurutnya, Gus Dur adalah pemimpin yang menjunjung tinggi gagasan dan menempatkan nilai keadilan serta kemanusiaan di atas segalanya.
“Indonesia yang dicita-citakan Gus Dur adalah Indonesia yang adil, makmur, dan sentosa. Inilah gagasan yang terus digunakan untuk mendorong gerakan perubahan,” jelasnya.
Baca: Gusdurian: Insiden Polisi Lindas Ojol Jadi Alarm Demokrasi
Ia menambahkan, sejarah mencatat Gus Dur kerap melontarkan kritik keras terhadap DPR. Salah satu ungkapannya yang masih sering dikutip adalah, “Memang tidak jelas bedanya antara DPR dan TK.” Kritik tersebut lahir dari keprihatinannya terhadap kebijakan DPR yang dianggap sering jauh dari kepentingan rakyat.
Menurut Ny. Alissa, situasi politik belakangan ini menunjukkan gejala serupa. Kebijakan yang tidak pro-rakyat membuat publik semakin kecewa, bahkan menimbulkan korban jiwa.
“Padahal, Gus Dur seorang politisi tetapi juga orang yang paling keras dalam mengkritisi negara,” tegasnya.
Meski pernah berada di kursi presiden, lanjut dia, Gus Dur selalu menekankan agar masyarakat, termasuk warga Nahdliyin, tidak berhenti mengawasi pemerintah. Ia selalu berada di persimpangan antara rakyat dan negara, namun sikapnya jelas: berpihak pada rakyat.
Kritik untuk DPR dan Pemerintah
Ny. Alissa mengingatkan, sejak 2014 masyarakat berulang kali merasa dikhianati oleh wakil rakyat maupun birokrasi pemerintahan. “Berapa banyak kekecewaan yang kita terima dari anggota DPR, baik pusat maupun daerah, yang justru menjauh dari masyarakat sipil,” ucapnya.
Gus Dur, kata dia, justru memberi teladan sebaliknya. Sebagai pemimpin lintas iman, beliau selalu dekat dengan rakyat tanpa melihat latar belakang. Ribuan orang dari berbagai agama hingga kini mendoakan Gus Dur di makamnya.
“Gus Dur adalah pemikir Islam, kiai, sekaligus politisi. Beliau dikenang sebagai negarawan yang mengembalikan jati diri Papua. Semua kiprahnya berakar pada nilai kemanusiaan,” jelasnya.
Polisi diminta berbenah
Lebih jauh, Ny. Alissa menilai kepolisian harus serius menata ulang mekanisme pengamanan aksi unjuk rasa. Menurutnya, tindakan represif aparat tidak boleh terus dibiarkan.
“Polisi, militer, semua yang bersenjata, pemerintah, hingga anggota DPR harus paham bahwa relasi di Indonesia adalah relasi demokratis. Ini bukan kerajaan. Rakyat bukan hamba penguasa. Justru rakyat adalah tuan di negeri ini,” tegasnya.
Ia menolak anggapan bahwa demonstrasi adalah bentuk pelanggaran ketertiban yang bisa diberangus begitu saja. “Kalau rakyat berkehendak menyampaikan aspirasi, tidak bisa diperlakukan seperti politisi Ahmad Syahroni yang bilang ‘udah, ditangkap aja’,” ucapnya.
Bahkan, ia menegaskan, jika yang turun ke jalan adalah pelajar SMA sekalipun, mereka tetap sah menyuarakan aspirasi rakyat. “Itu yang harus diingat oleh penyelenggara negara, siapapun dia,” tambahnya.
Konferensi pemikiran Gus Dur
Konferensi Pemikiran Gus Dur sendiri menghadirkan sejumlah tokoh lintas agama, akademisi, hingga sahabat dekat almarhum. Di antaranya Ahmad Suaedy, Buya Husein Muhammad, Greg Barton, serta jejaring masyarakat sipil dari berbagai daerah di Indonesia.
Forum ini membahas warisan intelektual Gus Dur dalam konteks keindonesiaan, keagamaan, sosial, politik, hingga ekologi. Tema utama yang diangkat meliputi Agama sebagai Etika Sosial, Demokrasi dan Supremasi Sipil, serta Keadilan Ekologi.
Hasil diskusi ini nantinya akan dituangkan dalam karya akademik yang merefleksikan cara pandang Gus Dur terhadap persoalan bangsa.