Gusdurian Desak Kemenag dan KPAI Serius Tangani Kasus Kekerasan Seksual di Pesantren

Para peserta diskusi publik bertajuk “Membangun Pesantren Aman: Mencegah Kekerasan Seksual dengan Pendekatan Kultural-Komunitas” dalam rangkaian Tunas Gusdurian 2025 di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur pada Jumat, 29 Agustus 2025. Foto: Dok. Gusdurian

Ikhbar.com: Jaringan Gusdurian menegaskan desakan agar Kementerian Agama (Kemenag) bersama Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengambil langkah nyata dalam menangani maraknya kasus kekerasan seksual di lingkungan pesantren.

Tuntutan ini muncul karena masih banyaknya praktik pelecehan di lembaga pendidikan berbasis agama, padahal seharusnya menjadi ruang aman bagi para santri.

Komitmen tersebut diwujudkan melalui diskusi publik bertajuk “Membangun Pesantren Aman: Mencegah Kekerasan Seksual dengan Pendekatan Kultural-Komunitas” dalam rangkaian Tunas Gusdurian 2025 di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur pada Jumat, 29 Agustus 2025.

Forum ini membahas tiga isu utama, yakni kebijakan negara dalam pencegahan kekerasan seksual, perspektif hukum dan perlindungan anak, serta peran masyarakat dan media dalam membangun kesadaran publik.

Baca: Mahfud MD Ungkap Cara Gus Dur Berdemokrasi

Menurut Komisioner KPAI, Hj. Ai Rahmayani, pesantren harus mendapat perhatian serius dalam kebijakan perlindungan anak.

“Pesantren bukan hanya pusat pendidikan, tetapi juga lembaga pengasuhan. Karena itu, santri tidak boleh hanya diberi ilmu, tetapi juga harus mendapatkan lingkungan yang aman, inklusif, dan responsif,” ujarnya.

Ai menekankan, posisi anak di pesantren sangat rentan sehingga perlu dukungan berlapis, mulai dari keluarga, lingkungan sosial, dan negara.

“Anak-anak sering tidak dipandang sebagai manusia utuh. Mereka jarang diberi ruang dalam pengambilan keputusan, padahal kelompok ini sangat rentan,” tambahnya.

Ia mendorong agar pemerintah bersama masyarakat menghadirkan satgas nasional yang memiliki standar jelas untuk menjadi payung hukum perlindungan anak di pesantren.

Menurutnya, gagasan Gus Dur mengenai pengarusutamaan gender dapat dijadikan rujukan penting dalam merumuskan kebijakan tersebut.

Dalam forum yang sama, penulis dan aktivis gender, Kalis Mardiasih menilai negara belum hadir secara maksimal dalam melindungi santri dari kekerasan seksual. Menurutnya, selama ini peran terbesar justru dimainkan oleh para nyai yang bekerja keras mengawal isu perlindungan anak di pesantren.

“Padahal agama seharusnya menjadi sumber nilai kebaikan. Tapi ironis, masih banyak tokoh agama bercanda dengan cara seksis di ruang publik, bahkan di media sosial. Itu membuat pesantren seolah tidak aman bagi perempuan,” kata Kalis.

Ia juga menyoroti regulasi terkait perlindungan santri yang dinilai sudah banyak tertinggal zaman, termasuk pencegahan kekerasan seksual di ruang digital.

“Yang dibutuhkan bukan sekadar aturan di atas kertas, tapi bagaimana kebijakan itu benar-benar dijalankan di lembaga pendidikan, khususnya pesantren,” tegasnya.

Melalui forum ini, Gusdurian menegaskan komitmennya mengawal isu kekerasan seksual agar tidak berhenti pada wacana, tetapi diwujudkan dalam tindakan nyata yang menjamin keselamatan dan masa depan santri.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.