Gusdurian Desak Kapolri Mundur

Konferensi pers Gusdurian tuntut Kapolri mundur dari jabatannya. Foto: Dok. Gusdurian

Ikhbar.com: Jaringan Gusdurian menuntut Kapolri segera mundur dari jabatannya. Permintaan tersebut menyusul berulangnya tindakan represif aparat terhadap massa aksi.

Menurut mereka, kegagalan Polri dalam mengendalikan kekerasan pada demonstrasi membuktikan hilangnya tanggung jawab moral maupun politik.

Senior Advisor Gusdurian, Savic Ali, menegaskan pengunduran diri merupakan langkah tepat untuk menjaga martabat institusi kepolisian sekaligus memberi teladan bagi bangsa.

“Di banyak negara, pejabat yang gagal mengambil tanggung jawab memilih mundur. Itu akan menjadi contoh baik bagi negeri ini,” ujarnya dalam konferensi pers Gusdurian di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, pada Ahad, 31 Agustus 2025.

Savic menambahkan, jika seorang pimpinan tak mampu mengelola keamanan nasional, maka pergantian kepemimpinan menjadi keniscayaan.

Baca: Gusdurian Desak Prabowo Copot Kapolri dan Hentikan Kekerasan ke Pendemo

“Kalau tidak ada perubahan dari pucuk pimpinan, kita tidak bisa berharap ada perbaikan di tubuh kepolisian,” katanya.

Ia menyoroti aksi protes yang terus berlangsung dalam beberapa tahun terakhir tanpa perbaikan perilaku aparat. Kekerasan, termasuk insiden viral penabrakan dan pelindasan demonstran oleh kendaraan polisi, disebut sebagai bukti hilangnya kepekaan pejabat publik terhadap penderitaan rakyat.

Selain menuntut Kapolri mundur, Savic juga menyuarakan dukungan terhadap aspirasi masyarakat yang menolak kenaikan gaji dan tunjangan anggota DPR. Kebijakan tersebut, menurutnya, hanya memperlebar jurang kesenjangan sosial.

“Sejak awal isu yang diangkat adalah soal keadilan. Jika keberpihakan itu nyata, rakyat akan mendengar suara tokoh agama yang membersamai mereka, bukan pejabat yang arogan,” jelas mantan aktivis 1998 itu.

Meski begitu, ia mengingatkan masyarakat agar tidak terprovokasi melakukan aksi anarkis seperti pembakaran atau penjarahan. Namun, Savic menekankan imbauan untuk menahan diri tidak boleh hanya ditujukan kepada rakyat, melainkan juga kepada aparat dan pejabat yang memegang kendali kekuasaan.

Ia juga mengkritisi pernyataan presiden yang menyerukan penindakan keras terhadap aksi anarkis. Menurutnya, seruan tersebut kerap dijadikan pembenaran aparat menembakkan gas air mata meski situasi masih kondusif.

“Secara normatif tidak salah, tapi faktanya sering kali gas air mata ditembakkan sebelum ada kerusakan. Itu yang membuat aksi damai berubah ricuh. Kalau seruan hanya diarahkan pada rakyat, itu menimbulkan rasa tidak adil,” ungkapnya.

Savic menekankan pentingnya melihat akar persoalan, bukan sekadar gejala di permukaan. Aksi protes, kata dia, adalah hak konstitusional rakyat untuk menyuarakan ketidakadilan. Karena itu, respons pejabat publik semestinya berupa kebijakan yang berpihak, bukan kekerasan aparat.

Ia juga memperingatkan warga agar waspada dengan adanya kelompok terorganisir yang bergerak sejak tengah malam di sejumlah kota. Menurutnya, masyarakat sebaiknya tidak ikut-ikutan, bahkan sekadar menonton, karena bisa dimanfaatkan untuk menggeser tujuan utama aksi.

Meski menyerukan perdamaian, Savic menegaskan seruan itu harus diarahkan secara seimbang.

“Isunya sejak awal adalah soal keadilan dan kesenjangan, juga kekerasan aparat. Itu berarti ada korban dan ada pelaku. Kalau seruan hanya dialamatkan kepada korban yang marah, itu tidak adil,” katanya.

Savic menutup dengan menyebut pihak yang paling harus dimintai pertanggungjawaban adalah DPR dan aparat keamanan.

“Yang salah duluan DPR dengan kebijakan tunjangan jumbo dan pernyataan arogan. Lalu kita juga menyaksikan polisi bertindak represif, bahkan terang-terangan melindas warga. Itu disaksikan seluruh rakyat negeri ini,” pungkasnya.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.