Dituduh Sensor Isu Gaza, Festival Sastra Melbourne Didera Aksi Mundur para Pembicara

Dr. Randa Abdel-Fattah mengundurkan diri bersama sejumlah calon pembicara Festival Penulis Melbourne lainnya menyusul ada swasensor terhadap isu Gaza. Foto: The Guardian/Andrew Beveridge

Ikhbar.com: Sejumlah pembicara mengundurkan diri dari Festival Penulis Melbourne, sebagai bentuk protes atas apa yang mereka sebut sebagai tuntutan untuk melakukan “penyensoran diri sepenuhnya” terhadap isu perang di Gaza.

Aksi ini menyoroti ketegangan antara kebebasan berekspresi dan kebijakan institusi dalam acara-acara publik.

Akademisi dan penulis, Randa Abdel-Fattah, menjadi salah satu figur utama dalam protes ini. Ia menyatakan bahwa kepemimpinan festival secara eksplisit memintanya untuk tidak membahas isu Palestina.

Baca: Dokter AS Ungkap Pola Penembakan Terarah di Lokasi Distribusi Bantuan Gaza

“Pimpinan eksekutif festival telah memberitahu saya bahwa mereka menuntut sensor mandiri sepenuhnya terhadap isu Palestina,” ujar Randa Abdel-Fattah, dikutip dari The Guardian, pada Jumat, 15 Agustus 2025.

Ia juga mengkritik kebijakan Universitas La Trobe, mitra festival, yang dianggapnya mengekang diskusi akademis mengenai Timur Tengah.

Menyusul keputusan Abdel-Fattah, beberapa pembicara lain turut menarik diri sebagai bentuk solidaritas.

Mereka antara lain komedian Aamer Rahman, penyair dan penulis Jeanine Leane, penyair Magan Magan, serta seniman Aseel Tayah. Para penulis ini dijadwalkan tampil dalam berbagai sesi, termasuk acara penutupan festival.

Langkah mundur juga diambil oleh para penulis yang terlibat dalam panel penghargaan fiksi ilmiah Aurealis.

Mereka memutuskan untuk menarik acara penghargaan tersebut dari festival setelah mengetahui adanya pembicara lain yang mengundurkan diri karena alasan serupa. Keputusan ini berdampak pada penghargaan senilai $20.000 Australia atau sekitar Rp210 juta.

Baca: Ratusan Pilot Israel Tolak Rencana Pendudukan Gaza

Pihak Festival Penulis Melbourne menyatakan bahwa mereka berkomitmen untuk menjadi platform bagi dialog yang aman dan inklusif.

Menurut penyelenggara, kebijakan tersebut dibuat untuk memastikan tidak ada individu atau komunitas yang merasa terancam atau tidak dihargai.

Namun, bagi para penulis yang mundur, kebijakan tersebut justru dianggap sebagai upaya pembungkaman suara-suara kritis, terutama yang berkaitan dengan isu politik sensitif.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.