Disebut dalam Al-Qur’an, Tanaman Indonesia Ini Diburu Warga Arab

Ilustrasi tanaman kamper atau kapur barus dari Sumatera yang konon disebut dalam Al-Qur'an. Foto: Shutterstock

Ikhbar.com: Tanaman kamper atau yang lebih familiar dengan sebutan kapur barus adalah tumbuhan khas Indonesia yang cukup berharga. Konon, tanaman ini disebut dalam Al-Qur’an, tepatnya pada QS. Al-Insan: 5. Karena itu, tak heran bahwa tanaman ini menjadi buruan pedagang Arab sejak berabad-abad lalu.

Dalam QS. Al-Insan: 5, Allah menjanjikan minuman bercampur air kafur bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. Para ulama menafsirkan bahwa air kafur merujuk pada tanaman kamper yang dinilai memiliki aroma khas dan manfaat kesehatan.

Tanaman ini tidak tumbuh di tanah Arab, sehingga mereka harus mencarinya ke timur. Perjalanan panjang itu membawa mereka ke sebuah wilayah yang kini dikenal sebagai Indonesia, tepatnya di Barus, Sumatera Utara.

Allah Swt berfirman:

اِنَّ الْاَبْرَارَ يَشْرَبُوْنَ مِنْ كَأْسٍ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُوْرًاۚ

“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan akan minum (khamar) dari gelas yang campurannya air kafur.”

Makna “Kafur” menurut ulama tafsir

Kata “kafur” dalam ayat ini diartikan para mufasir sebagai kapur barus, yakni sejenis bahan alami yang memiliki aroma khas dan biasa digunakan sebagai campuran minuman di surga.

Baca: Mengapa Al-Qur’an Diturunkan Bertahap?

Namun, penjelasan lain menyebutkan bahwa makna kafur di sini bukan sekadar merujuk pada kapur barus dalam dunia nyata, tetapi juga memiliki makna simbolis terkait kenikmatan di surga.

Imam Ibn Katsir Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim menjelaskan bahwa “kafur” dalam ayat ini adalah minuman yang memiliki aroma harum dan rasa yang menyegarkan. Ia menegaskan bahwa ini adalah salah satu bentuk kenikmatan yang disiapkan Allah bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.

Imam Al-Baghawi dalam Ma‘alim at-Tanzil menyebutkan bahwa minuman ini berasal dari mata air di surga yang sejuk dan harum seperti kapur barus di dunia. Namun, ia juga menambahkan bahwa kenikmatannya jauh lebih besar dibanding kapur barus yang dikenal manusia.

Senada dengan itu, Imam At-Thabari dalam Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an menjelaskan bahwa kafur di sini adalah mata air di surga yang sifatnya menyegarkan dan menenangkan. Ini sejalan dengan sifat kapur barus di dunia yang digunakan sebagai penyegar dan pengharum.

Kapur barus dan perburuan pedagang Arab

Sejak lama, masyarakat Arab mencari sumber asli kapur barus karena tidak tumbuh di wilayah mereka. Keingintahuan tersebut mendorong mereka menjelajah ke timur, hingga akhirnya menemukan sumber utama kapur barus di daerah Fansur, yang kini disebut Barus, Sumatera Utara.

Arkeolog Edward Mc. Kinnon, dalam karyanya Ancient Fansur, Aceh’s Atlantis (2013), menjelaskan bahwa perdagangan antara pedagang Arab dan wilayah Nusantara sudah berlangsung sejak lama. Fansur dikenal sebagai pelabuhan utama yang memasok kapur barus ke pasar global.

Bukti kuat tentang keterlibatan Arab dalam perdagangan ini tercatat dalam sejarah. Ibn Al-Faqih pada tahun 902 telah menyebut Fansur sebagai penghasil utama kapur barus, cengkih, pala, dan kayu cendana.

Ibn Sa’id al-Maghribi, seorang ahli geografi abad ke-13 juga menegaskan bahwa Sumatera adalah sumber utama kapur barus berkualitas tinggi. Bahkan, ahli geografi Romawi Ptolemy sudah mencatat keberadaan Barus sejak abad ke-1 Masehi.

Menurut Claude Guillot, dalam bukunya Barus Seribu Tahun yang Lalu (2008), para pedagang Arab biasanya datang ke Barus melalui jalur laut dari Teluk Persia, melewati Ceylon (Sri Lanka), lalu menuju pantai barat Sumatera. Mereka membawa kapal besar untuk mengangkut kapur barus dalam jumlah besar, yang kemudian dijual dengan harga tinggi di pasar internasional.

Seiring waktu, kapur barus dari Barus semakin dikenal karena kualitasnya yang lebih baik dibandingkan yang berasal dari Malaya dan Kalimantan. Hal ini menjadikan Barus sebagai pusat perdagangan strategis di kawasan Nusantara.

Keberadaan kapur barus di Sumatera tidak hanya menarik minat pedagang Arab dalam urusan bisnis, tetapi juga menjadi jembatan bagi penyebaran Islam di Indonesia. Barus menjadi titik singgah penting bagi kapal dagang Arab yang berlayar ke Tiongkok, dan banyak di antara mereka yang akhirnya menetap.

Seiring waktu, Islam mulai tersebar di wilayah-wilayah tempat kapal Arab singgah, seperti Barus (Fansur), Thobri (Lamri), dan Haru. Jejak Islam di Barus dapat ditelusuri melalui kompleks makam Mahligai, yang di dalamnya terdapat nisan dari abad ke-7 Masehi. Ini menjadi bukti kuat bahwa Islam telah masuk ke Indonesia lebih awal dibandingkan teori-teori sebelumnya.

Meskipun teori tentang kedatangan Islam di Nusantara masih menjadi bahan perdebatan, satu hal yang pasti, perdagangan kapur barus berperan besar dalam mengenalkan Nusantara ke dunia Arab.

Melalui jalur perdagangan ini, hubungan antara Arab dan Indonesia telah terjalin sejak berabad-abad lalu, menjadikan Nusantara sebagai bagian penting dalam peta perdagangan dunia Islam.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.