Ikhbar.com: Amerika Serikat (AS) menyiapkan skenario jangka panjang yang membelah Gaza menjadi dua: “green zone” di sisi timur, di bawah kendali militer Israel dan pasukan internasional, yang akan menjadi fokus awal rekonstruksi, dan “red zone” di sisi lain garis kendali Israel (“yellow line”) yang praktis dibiarkan tanpa rencana pemulihan.
Rencana operasi ini, yang disusun komando militer AS di kawasan, menempatkan pasukan asing berdampingan dengan tentara Israel di timur Gaza, sementara mayoritas warga Palestina saat ini terdesak ke wilayah pesisir yang padat dan minim layanan dasar.
Sumber perencanaan menyebut rancangan itu terkait pembentukan international stabilisation force (ISF) yang mandatnya diupayakan lewat resolusi Dewan Keamanan PBB, dengan tahap awal penempatan ratusan personel dan skala penuh hingga puluhan ribu.
Baca: Intel AS Ungkap Israel Bahas Penggunaan ‘Tameng Manusia’ di Gaza, Amerika Diduga Terlibat
Sejumlah opsi kontribusi negara Eropa (seperti Inggris, Prancis, Jerman, Belanda, serta Nordik) dipetakan untuk peran medis, logistik, intelijen, dan bom disposal. Namun, banyak ibu kota Eropa dinilai enggan mengirim pasukan tempur setelah pengalaman Irak–Afghanistan.
Italia disebut paling terbuka, sementara Yordania menolak mengirim pasukan karena sensitivitas politik domestik.
“Idealnya seluruh wilayah bisa dipersatukan kembali, tetapi itu masih bersifat aspiratif dan akan memakan waktu,” ujar seorang pejabat AS, dikutip dari The Guardian, pada Jumat, 14 November 2025.
Rencana pagar-pagar “komunitas aman alternatif” yang sempat dipromosikan sebelumnya juga disebut sudah ditinggalkan, tetapi belum ada skema pengganti yang disepakati dengan otoritas kemanusiaan.
Di lapangan, istilah “green zone” memicu kekhawatiran pengulangan pola Baghdad/Kabul: kantong aman berbeton yang menjauh dari komunitas sekitar.
AS menegaskan tidak akan mengerahkan tentara sendiri di darat dan fokus pada “visi” serta mandat politik, sementara Israel disebut baru akan “mempertimbangkan” penarikan setelah keamanan internasional terbentuk, tanpa tenggat.
Di saat yang sama, lebih dari 80% infrastruktur Gaza dilaporkan hancur atau rusak parah; hampir seluruh penduduk kini menumpuk di “red zone” yang kurang dari setengah luas Gaza, dengan akses bantuan yang masih dibatasi item “dual use” sehingga kebutuhan tenda, air bersih, dan layanan dasar tertahan.
Baca: PBB: Lebih dari 282 Ribu Rumah Hancur di Gaza, Puluhan Ribu Keluarga Terlantar
Komponen keamanan internal Palestina dalam rancangan jangka panjang juga kecil: rekrutmen awal sekitar ratusan polisi yang ditargetkan naik menjadi beberapa ribu dalam setahun, hanya seperlima dari total penempatan keamanan yang direncanakan.
Strategi “rekonstruksi dulu di green zone agar warga ‘bermigrasi’ ke wilayah yang dikontrol” dipuji AS sebagai jalur menuju normalisasi, tetapi para mediator memperingatkan Gaza berisiko tersandera status “bukan perang, bukan damai”: serangan sporadis Israel tetap terjadi, pemerintahan Palestina tak pulih, dan pemulihan permukiman tertahan.