Prof Rokhmin: Pembangunan di Indonesia Harus Didasari Prinsip ‘Taubatan Nasuha’

Pakar kelautan dan lingkungan Prof. Dr. H. Rokhmin Dahuri saat hadir dalam program Ruang Publik KBR secara virtual, Selasa, 30 Desember 2025. Foto: Tangkapan layar YouTube Ruang Publik KBR

Ikhbar.com: Kemenangan awal empat warga Pulau Pari di Pengadilan Kanton Zug, Swiss, atas gugatan terhadap raksasa semen dunia Holcim dipandang sebagai peristiwa penting. Putusan tersebut dinilai menjadi peringatan serius bagi arah pembangunan nasional.

Pakar kelautan dan lingkungan Prof. Dr. H. Rokhmin Dahuri menegaskan bahwa momentum ini semestinya dijadikan titik balik untuk melakukan taubatan nasuha (Reorientasi kebijakan) dalam kebijakan pembangunan. Konsep tersebut dipahami sebagai perubahan paradigma secara menyeluruh dan sungguh-sungguh, dari pendekatan yang mengejar pertumbuhan semata menuju pembangunan yang berkeadilan serta berkelanjutan.

Prof. Rokhmin, sapaan akrabnya, melihat ketimpangan yang tajam ketika masyarakat pesisir menanggung dampak kerusakan alam akibat industri berskala global, sementara manfaat ekonomi hampir tidak dirasakan.

Baca: Prof. Rokhmin Nilai Gebang Mekar Layak Jadi Percontohan Kampung Nelayan Merah Putih Nasional

“Tiga lembaga ini, eksekutif, legislatif, dan yudikatif, harus kompak melakukan taubatan nasuha. Pola pembangunan perlu ditinggalkan dari obsesi pertumbuhan semata menuju pendekatan yang menjamin keberlanjutan,” tegas Prof. Rokhmin dalam program Ruang Publik KBR, Selasa, 30 Desember 2025.

Menurut Prof. Rokhmin, ketidakadilan tersebut paling nyata dirasakan di kawasan pesisir. Sebagai negara kepulauan, sekitar 60% wilayah Indonesia berada pada dataran rendah yang rentan terdampak kenaikan permukaan laut.

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan RI tersebut juga mengkritik keras negara-negara maju yang terus menghasilkan emisi demi menopang gaya hidup konsumtif, tetapi pada saat bersamaan membatasi ruang gerak negara berkembang melalui skema perdagangan karbon yang dinilai timpang.

Prof. Rokhmin menunjukkan keprihatinan mendalam ketika menjelaskan kondisi masyarakat lokal yang kerap menjadi korban di wilayahnya sendiri. Ia menilai banyak aktivitas industri berjalan dengan pola eksploitatif dan mengabaikan prinsip keterlibatan warga sekitar.

“Aduh, saya mau nangis kalau begini. Penerima manfaat seharusnya masyarakat lokal. Kenyataannya, perlakuan terhadap mereka sangat kejam dan bahkan lebih zalim dibanding kapitalisme asalnya,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Anggota Komisi IV DPR RI tersebut memaparkan data ekologis yang memprihatinkan. Di Pulau Jawa, tutupan hutan saat ini diperkirakan tinggal sekitar 17%, jauh di bawah batas aman 30% yang diperlukan untuk menjaga keseimbangan air serta mencegah bencana.

Prof. Rokhmin mengingatkan agar pemerintah tidak terus berada dalam sikap penyangkalan terhadap kerusakan lingkungan yang nyata. Banjir besar di sejumlah wilayah Sumatera, misalnya, kerap dipahami sebagai gejala alam biasa, padahal berkaitan erat dengan praktik penggundulan hutan.

Kemenangan warga Pulau Pari di Swiss dinilainya sebagai langkah strategis untuk mencari keadilan melalui jalur internasional ketika mekanisme hukum nasional sulit menembus kepentingan korporasi besar. Bagi Rokhmin, peristiwa tersebut sekaligus menjadi tamparan agar Indonesia segera membenahi tata kelola lingkungan secara serius.

Sebagai tindak lanjut, Prof. Rokhmin menyatakan komitmennya untuk mengawal fungsi legislasi di DPR, termasuk mendorong pengesahan RUU Perubahan Iklim serta revisi undang-undang di bidang kehutanan dan pangan. Langkah tersebut diarahkan agar pembangunan ke depan tidak kembali mengorbankan rakyat kecil demi keuntungan jangka pendek.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.