Izin 8 Perusahaan Dicabut Usai Diduga Picu Banjir Sumatera

Warga berjalan di atas sampah kayu gelondongan pasca banjir bandang di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Sabtu, (29/11/2025). Foto: ANTARA FOTO/Yudi Manar

Ikhbar.com: Pencabutan izin delapan perusahaan yang diduga menjadi pemicu banjir dan longsor di wilayah Sumatra menjadi langkah tegas pemerintah dalam merespons bencana ekologi yang menelan banyak korban.

Pemerintah menilai aktivitas perusahaan tersebut berpotensi merusak kawasan hutan, sehingga memperparah dampak curah hujan tinggi di Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Aceh.

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menyatakan pencabutan izin dilakukan setelah evaluasi perizinan dan pengawasan operasional di lapangan.

Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq menjelaskan pihaknya tengah menelusuri rekapitulasi perusahaan yang beroperasi di area rawan bencana sekaligus meninjau ulang persetujuan lingkungan yang pernah dikeluarkan.

Baca: Korban Tewas Banjir Sumatera Capai 811 Orang, 623 Hilang

“Mulai dari sisi korporasi tentu kami mulai hari ini akan menarik kembali semua persetujuan lingkungan dari dokumen lingkungan yang ada di daerah-daerah bencana,” ujar Hanif dalam rapat di Komisi XII DPR, Kamis, 3 Desember 2025.

Ia menyebut hingga saat ini baru teridentifikasi tujuh perusahaan yang aktif, sementara satu lainnya masih dalam proses verifikasi. Meski begitu, delapan perusahaan yang berada di kawasan Batang Toru dan sejumlah titik lain tetap akan diperiksa mendalam.

“Saat ini baru terdata tujuh dari delapan. Delapannya sebenarnya belum aktif, tapi kami akan dalami lagi. Jadi ini yang di Batang Toru ya. Tetapi tentu kita harus adil,” tambahnya.

Pemeriksaan lanjutan dijadwalkan dilakukan oleh Deputi Penegakan Hukum (Gakkum) KLH pada Senin, 8 Desember 2025. Seluruh perusahaan yang terkait akan dipanggil untuk memberikan keterangan, termasuk kemungkinan adanya pelanggaran hukum yang dapat diproses lebih jauh.

Hanif menegaskan, apabila ditemukan unsur pidana dan kelalaian industri yang menyebabkan kerusakan lingkungan hingga korban jiwa, penyidikan akan diarahkan pada proses hukum yang lebih kuat.

“Karena ini sudah menimbulkan korban jiwa, maka pendekatan pidananya akan muncul,” katanya.

KLH menduga aktivitas pembukaan lahan besar-besaran turut memperburuk kondisi daerah aliran sungai dan mempercepat banjir bandang. Dari total 340 ribu hektare kawasan hutan, sekitar 50 ribu hektare dilaporkan berubah menjadi lahan kering tanpa penyangga vegetasi.

“Dari 340 ribu hektare mungkin 50-an ribu di hulunya, itu dalam bentuk lahan kering. Tidak ada pohon di atasnya, sehingga begitu hujan sedikit, ya sudah kita bayangkan,” tuturnya.

Langkah tegas ini diharapkan menjadi titik awal pemulihan ekosistem sekaligus peringatan bagi perusahaan lain agar lebih patuh pada regulasi lingkungan. Pemerintah menargetkan evaluasi menyeluruh guna mencegah kejadian serupa terulang di masa mendatang.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.