Prof. Sahiron: Kajian Al-Qur’an Harus Bertransformasi di Era Digital

Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama (Kemenag) sekaligus Ketua ALAT, Prof. Dr. Phil. Sahiron Syamsudin dalam acara The 8th Annual Meeting of AIAT se-Indonesia and International Conference pada Sabtu, 29 November 2025. Foto: AIAT

Ikhbar.com: Ketua Asosiasi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Prof. Dr. Phil. Sahiron Syamsudin menegaskan bahwa pengembangan kajian Al-Qur’an harus bergerak seiring perubahan zaman, terutama di tengah percepatan digitalisasi.

Pernyataan itu ia sampaikan dalam The 8th Annual Meeting of AIAT se-Indonesia and International Conference pada Sabtu, 29 November 2025.

Dalam acara yang berlangsung di Universitas IsIam Negeri (UIN) Siber Syekh Nurjati Cirebon itu, Prof. Sahiron membuka sambutannya dengan menyinggung kembali sejarah lahirnya AIAT.

Sosok yang juga menjabat sebagai Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama (Kemenag) itu menuturkan bahwa organisasi tersebut mendapat dukungan kuat dari Kemenag sejak awal berdiri.

“Sejak tahun 2015, Kemenag memberikan perhatian besar kepada AIAT. Saat itu Prof. Kamaruddin Amin menyediakan dana awal sekitar seratus juta rupiah untuk penguatan struktur asosiasi,” ujarnya.

Baca: Mencari Pesan Damai dalam Ayat Perang dengan Pendekatan Ma’na Cum Maghza

Menurutnya, dukungan tersebut menjadi landasan penting bagi AIAT dalam menyusun kurikulum, mengembangkan website, hingga mendirikan jurnal ilmiah.

Ia kemudian mendorong para akademisi AIAT untuk memperluas ruang kreatif melalui platform digital asosiasi. Prof. Sahiron menyebut bahwa Indonesia perlu memiliki model pengembangan kajian Al-Qur’an yang lebih komprehensif.

“Kita bisa mencontoh Corpus Coranicum di Jerman. Platform itu memuat manuskrip, qira’at, hingga tafsir secara terbuka. AIAT perlu memiliki lompatan yang sejenis,” tuturnya.

Dalam sambutannya, Prof. Sahiron juga menekankan pentingnya inovasi metodologis dalam studi Al-Qur’an. Ia menjelaskan bahwa kajian yang tidak mengikuti perkembangan zaman akan tertinggal.

“Kita harus memastikan kajian Al-Qur’an tetap relevan. Prinsip shalih likulli zaman wa al-makan bukan sekadar slogan, tetapi pedoman kerja,” kata Sahiron.

Ia turut menyinggung metode tafsir ma‘na-cum-maghza yang ia kembangkan, sebuah pendekatan yang menekankan pemahaman historis dan relevansi pesan Al-Qur’an pada konteks kekinian.

Metode tersebut, ungkapnya, menyoroti ma‘na al-tarikhiy, maghza al-tarikhiy, dan maghza al-mutaharrik sebagai tiga pilar utama untuk membaca teks secara lebih dinamis.

Dalam kesempatan itu, Prof. Sahiron mengajak para peneliti dan dosen untuk masuk lebih jauh ke ranah teknologi.

“Kita hidup di era robotisasi dan digitalisasi. Sudah saatnya pemikir tafsir merancang aplikasi Al-Qur’an yang memuat berbagai penafsiran dan keilmuan,” ucapnya.

Ia menilai bahwa integrasi artificial intelligence (AI) alias kecerdasan buatan dalam kajian Al-Qur’an akan menjadi kebutuhan masa depan.

Prof. Sahiron berharap pertemuan ilmiah ini menjadi momentum berkembangnya ekosistem riset Al-Qur’an yang lebih progresif.

“Semoga forum ini melahirkan pemikiran-pemikiran baru yang bermanfaat bagi pegiat kajian Al-Qur’an dan masyarakat luas,” pungkasnya.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.