Ikhbar.com: Israel dilaporkan melanggar gencatan senjata yang difasilitasi Amerika Serikat (AS) hampir 500 kali dalam 44 hari terakhir.
Data dari Kantor Media Pemerintah Gaza mencatat sedikitnya 497 pelanggaran sejak jeda kemanusiaan itu diberlakukan pada 10 Oktober 2025. Ratusan warga sipil menjadi korban, didominasi anak-anak, perempuan, dan lansia.
Dalam pernyataan resmi, otoritas Gaza mengecam pelanggaran yang mereka sebut sebagai tindakan sistematis dan berulang. Pada Sabtu lalu saja, tercatat 27 pelanggaran yang menewaskan 24 orang dan melukai 87 lainnya.
“Pemerintah Gaza menegaskan Israel bertanggung jawab penuh atas dampak kemanusiaan dan keamanan dari aksi-aksi tersebut,” tulis laporan Al-Jazeera, dikutip pada Ahad, 23 November 2025.
Baca: Peneliti Bosnia Bongkar Biang Kerok Diamnya Pakar Genosida Dunia soal Gaza
Di tengah gencatan senjata yang seharusnya membuka akses bantuan, Israel tetap membatasi suplai logistik dan obat-obatan yang sangat dibutuhkan di wilayah yang porak-poranda akibat perang. Pada hari yang sama, militer Israel melakukan serangan udara baru yang menewaskan sedikitnya 24 warga Palestina, termasuk anak-anak. Serangan itu diklaim sebagai respons atas dugaan serangan seorang pejuang Hamas terhadap tentara Israel di area yang mereka duduki di Gaza.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan serangan tersebut menewaskan lima anggota senior Hamas. Namun Hamas menuntut Israel menunjukkan identitas pelaku penyerangan yang disebut memicu operasi militer terbaru itu. Hamas menilai Israel sedang mencari dalih untuk menghindari komitmen perjanjian dan kembali memperluas eskalasi.
Situasi di Gaza menunjukkan gencatan senjata ini lebih banyak berjalan di atas kertas. Warga tetap menjadi sasaran serangan udara meski jeda tembak diumumkan.
Kondisi ini membuat rasa aman semakin runtuh dan menegaskan bahwa gencatan ini dipandang sebagai manuver taktis, bukan upaya menghentikan kekerasan.
Di Gaza utara, sejumlah keluarga Palestina dilaporkan terjebak setelah militer Israel memajukan posisi pasukannya lebih jauh ke dalam wilayah, melampaui batas garis kuning yang menjadi patokan perjanjian. Garis itu merupakan batas tak bertanda tempat pasukan Israel seharusnya mundur selama gencatan senjata berlaku, tetapi tetap dipertahankan sehingga mengontrol lebih dari separuh wilayah pesisir Gaza.
Baca: AS Ingin Belah Gaza, Separuhnya Dikelola Israel
Hamas menuduh Israel mendorong batas tersebut lebih ke arah barat dan mengubah kesepakatan secara sepihak. Pada saat yang sama, Departemen Bukti Forensik Gaza melaporkan kesulitan mengidentifikasi jenazah warga Palestina yang dikembalikan Israel dalam kerangka perjanjian itu. Banyak tubuh korban ditemukan dengan tanda penyiksaan, mutilasi, hingga eksekusi.
Hingga kini, 330 jenazah telah dikembalikan, tetapi baru 90 yang berhasil diidentifikasi. Otoritas forensik setempat menyatakan mereka membutuhkan laboratorium dan peralatan tambahan untuk pemeriksaan sidik jari dan DNA, serta meminta dukungan lembaga internasional agar proses identifikasi dapat dilakukan secara layak.