Negara Kaya Bagi-bagi Duit untuk Cegah Krisis Lingkungan

Para aktivis di COP30 menuntut lebih banyak pendanaan iklim. Foto: AP/André Penner

Ikhbar.com: Enam belas tahun setelah kesepakatan Kopenhagen, komitmen negara kaya untuk menyalurkan US$100 miliar atau Rp1.671 triliun per tahun bagi negara berkembang agar menekan emisi, dan beradaptasi terhadap krisis iklim masih memunculkan sengkarut definisi dan akuntabilitas.

Data Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), dikutip dari The Guardian, pada Sabtu, 15 November 2025, menyebut target itu baru terlampaui pada 2022 dengan US$116 miliar (Rp1.938,59 triliun), tetapi Oxfam, yang menghitung nilai hibah-ekuivalen dan mengoreksi “penggelembungan” pinjaman, menaksirnya hanya US$95,3 miliar (Rp1.593,2 triliun) dan nilai setara hibah kurang dari US$35 miliar (Rp584,9 triliun).

Sebagian besar arus dana berasal dari anggaran publik (bilateral dan melalui lembaga multilateral), ditambah mobilisasi swasta dan kredit ekspor yang juga dihitung para donor.

Baca: PBB: 250 Juta Warga Mengungsi Akibat Bencana Iklim dalam Satu Dekade

Aliran dananya pun timpang. Sekitar seperlima pendanaan publik 2022 mengalir ke 44 negara termiskin yang sangat rentan (mis. Tuvalu, Chad, Madagaskar, Haiti, Mali, Niger, Sierra Leone, Sudan Selatan, Yaman).

Sementara porsi yang jauh lebih besar justru menuju kelompok “negara berkembang” yang lebih luas, termasuk ekonomi berpendapatan menengah seperti India dan Cina, bahkan petrostate seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) ikut tercatat sebagai penerima.

Dari sisi pemberi, dua pertiga pendanaan publik datang dari Jepang, Jerman, AS, dan Prancis; lonjakan bilateral Amerika Serikat (AS) pada 2021 membantu mendekatkan pencapaian target 2022, meski kemudian komitmennya tergerus.

Masalah lainnya adalah sekitar dua pertiga pendanaan diberikan dalam bentuk pinjaman, mayoritas non-konsesional, sehingga menambah beban utang dan syarat terikat yang kerap menguntungkan perusahaan donor.

Baca: Emisi Karbon Cina Cenderung Turun, PBB: Patut Dicontoh

Mulai 2025, target lama diganti sasaran baru: US$300 miliar (sekitar Rp5.013 triliun) per tahun sampai 2035, dalam kerangka “goal kolektif terkuantifikasi” yang lebih luas untuk memobilisasi US$1,3 triliun (sekitar Rp21.725,6 triliun) per tahun. Namun dari angka jumbo itu, hanya US$300 miliar yang diharapkan dari kas publik negara maju dan institusi seperti Bank Dunia; sisanya bergantung pada investasi privat yang justru lebih sulit diawasi.

Inisiatif bersama presidensi COP (Azerbaijan–Brasil) mencoba menambal celah dengan skema pajak baru (orang superkaya, transaksi keuangan, aktivitas berpolusi dan bahan bakar fosil) serta pertukaran utang-untuk-iklim.

Pada akhirnya, kredibilitas pendanaan iklim bergantung pada penjernihan definisi, transparansi pelaporan, porsi hibah yang lebih besar untuk negara paling rentan, serta syarat pinjaman yang tidak menjerat.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.