Ikhbar.com: Sekitar 1.200 tahun lalu, Baghdad, Irak, menjadi kota paling gemilang di dunia. Di bawah kepemimpinan Dinasti Abbasiyah, ibu kota kekhalifahan Islam berkembang menjadi pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan dunia. Di sanalah berdiri Baitul Hikmah, atau House of Wisdom, lembaga ilmiah yang mengubah arah sejarah manusia.
Baitul Hikmah berperan sebagai pusat kajian dan pengembangan pengetahuan. Di tempat ini para ilmuwan, filsuf, dan penerjemah dari berbagai latar belakang berkumpul untuk berdiskusi, meneliti, serta melahirkan gagasan yang kelak menjadi fondasi ilmu pengetahuan modern.
“Pada akhir abad ke-8, kekaisaran Arab menjadi sangat kuat. Para penguasanya mengalirkan kekayaan untuk mendukung penerjemahan dan pengembangan ilmu,” ujar Prof. Jim Al-Khalili, fisikawan dan sejarawan sains, dalam Pathfinders: The Golden Age of Arabic Science (2010), dikutip Selasa, 21 Oktober 2025.

Baca: Mengenal Ismail Al-Jazari, Ilmuwan Muslim Pencipta Robot Pertama di Dunia
Kebijakan tersebut lahir dari kesadaran bahwa ilmu pengetahuan adalah sumber kekuatan sejati. Pada masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid (786–809 M), Baghdad mendirikan perpustakaan besar bernama Khizanat al-Hikmah (Perpustakaan Kebijaksanaan). Koleksinya mencakup manuskrip dari berbagai bahasa dan peradaban, mulai dari Yunani hingga India.
Visi besar itu mencapai puncaknya pada masa putranya, Khalifah Al-Ma’mun. Dialah yang mengembangkan perpustakaan tersebut menjadi lembaga akademik besar bernama Baitul Hikmah. Di tempat ini ilmu pengetahuan berkembang melalui kegiatan membaca, meneliti, dan bereksperimen.
Baca: Dari Al-Farghani hingga Al-Biruni, Para Ilmuwan Muslim Peletak Dasar Astronomi Dunia
Rumah para ilmuwan besar
Setiap hari, ruang-ruang di Baitul Hikmah dipenuhi suara gesekan pena dan perdebatan. Para cendekiawan dari berbagai agama dan bangsa duduk berdampingan, baik Muslim, Yahudi, Kristen, maupun Zoroaster, dengan satu tujuan, yakni memahami dunia melalui ilmu pengetahuan.
Beberapa tokoh besar yang mewarnai masa keemasan itu antara lain Al-Kindi, filsuf Arab pertama yang menerjemahkan karya Aristoteles; Hunayn bin Ishaq, penerjemah karya medis Hippokrates dan Galen, serta Muhammad bin Musa Al-Khawarizmi, matematikawan yang memperkenalkan sistem angka dan konsep al-jabr (aljabar) ke dunia.
“Baitul Hikmah menjadi tempat ketika teori dan eksperimen pertama kali berjalan bersama, jauh sebelum revolusi ilmiah di Eropa,” jelas Prof. Al-Khalili.
Dari lembaga ini pula lahir nama-nama bintang yang masih dikenal hingga kini, seperti Algol, Aldebaran, dan Betelgeuse, yang berasal dari penamaan para astronom Muslim.
Salah satu kisah menarik datang dari kebijakan Khalifah Al-Ma’mun yang sangat menghargai ilmu pengetahuan. Sang khalifah memberikan imbalan kepada para penerjemah seberat buku yang mereka hasilkan dalam timbangan emas. Insentif ini membuat Baghdad dipenuhi naskah terjemahan dari bahasa Yunani, Suryani, Persia, dan Latin.

Baca: Nama-nama Bintang Sumbangan Astronomi Islam
Bahasa sebagai jembatan ilmu
Bahasa Arab menjadi medium utama ilmu pengetahuan dunia pada masa itu. Di Baitul Hikmah, para ahli menguasai berbagai bahasa seperti Arab, Persia, Yunani, Ibrani, Latin, dan Aramaik untuk menerjemahkan karya-karya kuno agar dapat dipelajari dan dikembangkan lebih lanjut.
Salah satu penerjemah legendaris adalah Youhanna bin al-Batriq, yang menyalin Kitab al-Hayawan (Buku tentang Hewan) karya Aristoteles ke dalam bahasa Arab. Melalui kerja keras para penerjemah, Baghdad menjelma menjadi pusat penerjemahan terbesar dalam sejarah dunia.
Proses penerjemahan di Baitul Hikmah tidak hanya sebatas pengalihan bahasa, tetapi juga pengayaan isi. Para ilmuwan menambahkan komentar, catatan, dan temuan baru pada karya yang mereka telaah. Dari kegiatan itu lahir berbagai inovasi dalam bidang matematika, astronomi, kedokteran, kimia, dan filsafat.
Baca: Seikat Pertalian Islam dan Filsafat
“Di bawah kepemimpinan al-Ma’mun, Baghdad melahirkan dasar bagi ilmu modern, mulai dari aljabar, trigonometri, hingga farmasi dan sastra. Inilah jantung masa keemasan Arab,” tulis Prof. Faroque Ahmad Khan, sejarawan kedokteran, dalam Lost History: The Enduring Legacy of Muslim Scientists, Thinkers, and Artists (2007).
Kejayaan Baitul Hikmah tidak berhenti di Baghdad. Semangat menuntut ilmu menyebar ke berbagai kota Islam lainnya. Di Kairo berdiri Dar al-Hikmah pada tahun 1005 M, sementara di Andalusia, kota Toledo menjadi pusat penerjemahan besar dari bahasa Arab ke Latin pada abad ke-12.
Dari Toledo inilah ilmu pengetahuan karya para sarjana Muslim menyeberang ke Eropa dan membuka jalan bagi lahirnya Renaissance, masa kebangkitan intelektual Barat.
Buku The House of Wisdom: How Arabic Science Saved Ancient Knowledge and Gave Us the Renaissance (2011), karya Prof. Al-Khalili lainnya menjelaskan betapa besar peran dunia Islam dalam menjaga serta mengembangkan warisan ilmu kuno yang kemudian menjadi fondasi universitas-universitas modern.

Baca: Biang Kerok Terbit dan Tenggelamnya Tradisi Riset Islam di Masa Ottoman
Mercusuar puntuh, apinya abadi
Tragisnya, pada tahun 1258, pasukan Mongol menyerbu Baghdad. Sungai Tigris dikabarkan berubah warna menjadi hitam oleh tinta ribuan manuskrip yang dibuang ke sungai. Baitul Hikmah pun lenyap dari muka bumi. Namun, semangatnya tidak pernah padam.
Jejak Baitul Hikmah masih terasa hingga kini dalam bahasa sains, metode penelitian modern, dan semangat universal untuk mencari pengetahuan. Seperti dikatakan dalam film 1001 Inventions and the World of Ibn al-Haytham, “Di Baghdad, manusia belajar bahwa memahami alam semesta adalah bentuk tertinggi dari ibadah.”
Lebih dari seribu tahun sejak Baitul Hikmah berdiri, kisahnya tetap menginspirasi dunia. Lembaga ini menjadi pengingat bahwa peradaban Islam pernah menjadi pelita bagi kemajuan global, tempat berpadu antara iman dan akal, serta ilmu menjadi jembatan antarbangsa.
Bangunannya memang telah hilang, tetapi warisannya terus hidup dalam semangat para pencari ilmu di seluruh dunia. Seperti pepatah kuno Baghdad mengatakan, “Ada banyak gerbang menuju rumah kebijaksanaan.”