5 Jenis Respons Manusia terhadap AI, Mana yang Lebih Baik?

“Jadi, jangan takut kalah dari AI. Takutlah kalau kita hidup seperti mesin,” ujar Kiai Sobih.
Ilustrasi beragam respons manusia terhadap AI. Olah Digital oleh IKHBAR

 

Ikhbar.com: Perkembangan Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan selalu menimbulkan beragam respons dari manusia. Ada yang penuh kekhawatiran, ada yang terlalu mengagungkan, ada yang skeptis, bahkan ada pula yang tak peduli. Di sisi lain, sebagian orang melihat AI sebagai peluang kolaborasi antara manusia dan mesin.

CEO Ikhbar Group, KH Sobih Adnan, membahas lima jenis respons tersebut dalam pembukaan pelatihan The AI Survival Kit: Creativity, Career, and Critical Thinking yang digelar Ikhbar Academy di Kantor Redaksi Ikhbar.com, Kompleks Pondok Pesantren Ketitang Cirebon, Sabtu, 27 September 2025.

“AI hanyalah cermin dari cara berpikir kita. Kalau kita kerdil, AI akan ikut kerdil. Kalau kita kreatif, AI akan memperbesar kreativitas itu. Yang penting bukan teknologinya, melainkan bagaimana kita menata akal dan hati,” ujar Kiai Sobih.

Berikut uraian lima respons manusia terhadap AI yang disampaikan dalam acara tersebut.

CEO Ikhbar Group, KH Sobih Adnan, dalam pembukaan pelatihan The AI Survival Kit: Creativity, Career, and Critical Thinking yang digelar Ikhbar Academy di Kantor Redaksi Ikhbar.com, Kompleks Pondok Pesantren Ketitang Cirebon, Sabtu, 27 September 2025. IKHBAR/Doh

Baca: 25 Mahasiswa Terpilih Berlatih Kemahiran AI di Ikhbar Academy

1. Sebagai ancaman

Ketakutan pada teknologi selalu muncul dalam sejarah. Dari mesin cetak, listrik, hingga internet, manusia pada awalnya curiga dan khawatir. Begitu juga dengan AI.

Sebagian orang menganggap AI akan menghapus pekerjaan manusia, merusak moral, atau bahkan mengambil alih peradaban. Di media sosial, sering muncul narasi bahwa “AI adalah monster baru.”

Menurut Kiai Sobih, ketakutan ini wajar, tetapi tidak boleh membutakan akal sehat.

“AI bukan makhluk gaib. Ia tidak punya niat, tidak punya ruh. Ia hanya menyalin pola dari data yang kita berikan. Kalau ada ancaman, itu berasal dari manusia yang menyalahgunakan AI,” jelasnya.

Ia menegaskan, sikap paranoid justru membuat manusia kehilangan peluang. Alih-alih menolak, lebih baik memahami cara kerjanya dan menyiapkan etika penggunaannya.

Baca: Direktur Ikhbar Academy: ‘Berbicara’ dengan AI adalah Keterampilan Wajib Era Digital

2. Andalan tanpa meningkatkan potensi 

Ada juga kelompok yang terlalu bergantung pada AI. Mereka menjadikan teknologi ini sebagai “penyelamat instan” untuk menulis, berpikir, bahkan mengambil keputusan.

“Bahaya dari sikap ini adalah lahirnya generasi yang malas berpikir. Semua diserahkan pada mesin. Padahal mesin hanya tahu masa lalu, ia tidak bisa menciptakan masa depan yang orisinal,” kata Kiai Sobih.

Dalam tradisi Islam, akal adalah anugerah yang tak tergantikan. Al-Qur’an berulang kali menyeru manusia untuk tafakkur dan tadabbur. Jika semua digantikan AI, seruan itu kehilangan makna.

“AI harus ditempatkan sebagai alat bantu, bukan pusat kepercayaan. Manusia tetap perlu melatih imajinasi, logika, dan intuisi,” jelasnya.

3. Teknologi kepalsuan

Ada yang menilai AI hanyalah penghasil informasi palsu. Penilaian ini tidak sepenuhnya keliru. AI bekerja dengan probabilitas dan pola, bukan kebenaran mutlak. Fakta yang ia hasilkan bisa bias, menyesatkan, atau sekadar ilusi bahasa yang rapi.

“AI itu seperti tukang cerita yang pintar, tetapi belum tentu jujur. Ia bisa membuat kalimat indah, tetapi sumbernya tidak selalu sahih,” kata Kiai Sobih.

Karena itu, sikap skeptis perlu dimiliki. Namun, skeptisisme yang sehat bukan berarti menolak total, melainkan menguji, mengonfirmasi, dan memperbaiki data yang diberikan mesin.

“Santri diajarkan tabayyun, memastikan kebenaran berita sebelum percaya. Prinsip ini sangat relevan di era AI,” katanya.

Baca: AI sebagai Jalan Baru Kreativitas Generasi Muda, Pesan Penting dari Prof. Rokhmin

4. Tidak peduli sama sekali

Sebagian orang memilih tidak peduli. Mereka menilai AI hanyalah tren teknologi yang tidak perlu diikuti.

“Sikap ini berbahaya. Kalau kita abai, kita hanya akan menjadi penonton sejarah. Orang lain berlari dengan teknologi, kita tertinggal jauh,” tegas Kiai Sobih.

Ia mencontohkan, di masa lalu bangsa-bangsa yang menolak ilmu baru akhirnya terpinggirkan. Padahal Islam sendiri pernah memimpin peradaban dengan semangat ilmu pengetahuan.

Oleh karena itu, bersikap acuh terhadap AI berarti kehilangan kesempatan besar untuk ikut menentukan arah teknologi sesuai nilai kemanusiaan dan keislaman.

Baca: ‘Growth Mindset’, Rahasia Bertahan Hadapi Rintangan Zaman ala Kiai Zuhri Adnan

5. Melihat AI sebagai peluang kolaboratif

Respons terakhir ini dianggap paling sehat. AI dipandang sebagai peluang untuk memperluas kreativitas, bukan menggantikannya.

Menurutnya, AI dapat menjadi mitra yang mempercepat kerja manusia: menyingkat proses riset, membantu desain, atau memberi inspirasi. Namun, sentuhan manusia tetap diperlukan untuk memberi arah, makna, dan nilai etis.

Ia menambahkan, AI juga membuka ruang baru bagi santri dan pelajar untuk terjun dalam bidang kreatif, riset, dan dakwah.

“Kolaborasi dengan mesin justru bisa membuat kita lebih manusiawi, karena kita dipaksa menegaskan peran unik kita: hati nurani, intuisi, dan spiritualitas.”

Kiai Sobih mengingatkan bahwa AI hanyalah babak baru dalam perjalanan panjang kebudayaan. Sama seperti filsafat, sains, dan seni, AI adalah produk akal budi manusia.

“Dalam tasawuf, manusia itu khalifah yang diberi kemampuan untuk mencipta dan memaknai. AI adalah hasil tangan kita. Jangan sampai ciptaan ini justru mengendalikan penciptanya,” ujarnya.

Baca: Pemred Ikhbar.com: AI Singkatan dari Asisten Ide

Ia mengajak generasi muda Muslim untuk tidak hanyut dalam pesimisme atau euforia. Sikap yang tepat adalah kritis, analitis, kreatif, logis, sekaligus skeptis.

“Gunakan AI sebagai jembatan untuk tumbuh, bukan sebagai tongkat untuk bersandar. Kita boleh meminjam kekuatan mesin, tetapi jangan pernah kehilangan jati diri,” katanya.

Menurutnya, wacana sekarang bukan lagi AI versus manusia, melainkan AI bersama manusia. Sebab, kecerdasan yang dibutuhkan di era digital adalah perpaduan yang seimbang antara akal, hati, iman, dan kreativitas.

“Jadi, jangan takut kalah dari AI. Takutlah kalau kita hidup seperti mesin,” pungkasnya.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.