Ikhbar.com: Anggota DPR RI sekaligus mantan Menteri Kelautan dan Perikanan 2001–2004, Prof. Rokhmin Dahuri, menegaskan bahwa jalan menuju Indonesia Emas 2045 hanya dapat dicapai melalui pembangunan kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang unggul, institusi yang kuat, serta kepemimpinan yang berlandaskan ilmu dan kejujuran.
Menurut Prof. Rokhmin, persaingan global merupakan sebuah keniscayaan. Dalam perspektif Islam, hal ini merupakan sunatullah alias hukum alam yang tidak bisa dihindari.
“Kalau sebuah bangsa tidak memiliki daya saing, maka tidak mungkin memiliki wibawa di dunia,” ujar Prof. Rokhmin dalam tayangan siniar Bogor Natur Indonesia BNGi dikitip pada Rabu, 3 September 2025.
Peringatan dari Rasulullah Saw
Dalam kesempatan itu, ia mengingatkan pentingnya menempatkan orang yang tepat sesuai bidangnya. Prof. Rokhmin menukil hadis Nabi Muhammad Saw yang mengatakan bahwa “Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.”

Menurutnya, pesan Rasulullah itu sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. Banyak jabatan strategis, baik di kementerian maupun pemerintahan daerah, dipegang oleh orang yang tidak memiliki keahlian pada bidangnya.
Baca: Prof Rokhmin Dahuri: Potensi ‘Blue Food’ Bisa Jadi Kunci Menuju Indonesia Emas 2045
“Akibatnya, kebijakan yang lahir tidak memiliki arah yang jelas, ibarat layang-layang putus. Padahal, seorang pemimpin seharusnya memiliki konsep yang jelas untuk membangun sektor yang dipimpinnya,” ujar tokoh asal Cirebon, Jawa Barat itu.
Blue economy
Sebagai pakar kelautan, Prof. Rokhmin menekankan pentingnya blue economy atau ekonomi berbasis maritim sebagai sektor unggulan bangsa. Menurutnya, Indonesia memiliki potensi besar dari sektor kelautan dan perikanan yang bisa menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi menuju 2045.
Namun, ia menyayangkan perhatian pemerintah yang masih minim pada sektor blue economy. “Bayangkan, luas laut Indonesia mencapai 77 persen wilayah kita. Tapi anggaran untuk sektor kelautan perikanan hanya sekitar Rp6,4 triliun, dan separuhnya habis untuk gaji pegawai. Artinya, yang tersisa untuk pembangunan sangat kecil,” ungkapnya.
Pentingnya sains dan kejujuran
Prof. Rokhmin menekankan bahwa seluruh kebijakan pembangunan harus berbasis pada science-based planning alias ilmu pengetahuan. Fakta sejarah menunjukkan, tidak ada bangsa yang maju tanpa menghargai ilmu dan ilmuwan.
“Bangsa yang maju adalah bangsa yang berbasis sains, bukan sekadar like and dislike. Itu juga bagian dari perintah agama: menjunjung kebenaran dan keadilan,” katanya.
Tantangan global
Selain masalah daya saing, Prof. Rokhmin juga menyoroti ancaman perubahan iklim. Ia menyebut bahwa blue food atau pangan berbasis laut merupakan solusi ramah lingkungan karena memiliki jejak karbon terendah dibanding sumber pangan lain.
“Jika dikelola dengan kaidah pembangunan berkelanjutan, maka sektor ini bisa menjadi penyelamat masa depan,” ucapnya.
Inspirasi dari Al-Qur’an
Dalam refleksinya, Prof. Rokhmin mengutip QS. Ali Imran: 110, yang menyebut umat Islam sebagai umat terbaik bila menegakkan amar makruf nahi munkar. Baginya, ayat tersebut menjadi motivasi untuk membuktikan bahwa umat Islam mampu menjadi pelopor kemajuan.
“Fakta hari ini, sebagian besar umat Islam masih terjebak dalam kemiskinan. Nobel dunia pun sebagian besar diraih non-Muslim. Saya merasa tertantang oleh ayat itu untuk membuktikan bahwa umat Islam juga bisa unggul, terutama lewat bidang kelautan dan perikanan,” jelasnya.
Bonus demografi
Prof. Rokhmin mengingatkan, peluang emas Indonesia hanya sekali dalam sejarah, yakni saat bonus demografi. Jika pada 2032 pendapatan per kapita Indonesia tidak mencapai 14 ribu dolar AS, maka negeri ini akan terjebak selamanya sebagai negara berpendapatan menengah.
“Kuncinya ada di SDM unggul, teknologi, dan manajemen profesional yang bersih dari KKN. Tanpa itu, kita hanya akan menjadi penonton di tengah derasnya persaingan global,” tutup Prof. Rokhmin.