Ikhbar.cim: Fenomena duck syndrome kian mendapat perhatian di dunia kampus. Banyak mahasiswa terlihat aktif, penuh semangat, dan berprestasi, namun di balik itu ternyata menyimpan tekanan batin yang cukup berat. Kondisi ini membuat mereka rentan mengalami stres bahkan gangguan psikologis.
Istilah duck syndrome diambil dari gambaran seekor bebek yang tampak tenang saat berenang di permukaan air, tetapi sesungguhnya kakinya bergerak panik di bawah air agar tetap seimbang. Begitu pula mahasiswa, yang kerap menampilkan citra kuat dan mampu, padahal sedang berjuang keras melawan tekanan akademik maupun sosial.
Fenomena ini, menurut psikolog Career and Student Development Unit (CSDU) FEB UGM, Anisa Yuliandri, awalnya diperkenalkan untuk menggambarkan kondisi mahasiswa Stanford University. Mereka tampak baik-baik saja, tetapi sesungguhnya menghadapi tekanan besar. Kini, pola serupa juga terlihat di berbagai kampus di Indonesia.
Baca: Penyebab Munculnya Tren ‘Rojali’ menurut Psikolog
“Banyak mahasiswa merasa wajib mengambil semua kesempatan karena takut tertinggal. Mereka khawatir kalau tidak aktif nanti dianggap malas, tidak punya daya saing, atau masa depan yang suram,” ungkap Anisa, dikutip dari laman UGM pada Selasa, 18 Agustus 2025.
Anisa menjelaskan, mahasiswa seringkali berusaha mempertahankan IPK, ikut organisasi, magang, lomba, sekaligus tetap eksis di media sosial. Tekanan berlapis ini mendorong mereka ke arah perfeksionisme yang melelahkan.
Budaya ‘Selalu baik-baik saja’
Fenomena duck syndrome juga dipengaruhi budaya untuk selalu terlihat tegar. Banyak mahasiswa menahan emosi, enggan menunjukkan rasa lelah, karena takut dinilai lemah.
“Padahal setiap orang punya batas. Tapi demi mempertahankan citra sempurna, banyak mahasiswa akhirnya menyembunyikan kelemahan dan memendam masalah sendirian,” jelas Anisa.
Ia menambahkan, media sosial turut memperkuat tekanan tersebut. Saat beranda dipenuhi kabar keberhasilan orang lain, mulai dari lomba, magang, kelulusan cepat, hingga liburan muncul rasa minder atau tertinggal.
“Dalam usaha tidak kalah bersinar, mahasiswa sering memaksakan diri agar terlihat produktif. Sesuai dengan Impression Management Theory, mereka berusaha mengatur citra diri agar tampak kuat, meski di balik layar sebenarnya sangat kelelahan,” ujarnya.
Dampak serius
Anisa menegaskan, duck syndrome berbahaya karena sering tidak terlihat. Jika dibiarkan, kondisi ini dapat berkembang menjadi kecemasan berkepanjangan, insomnia, burnout, hingga depresi.
Ia menyarankan mahasiswa mulai mengenali gejalanya sejak dini. Langkah awal yang penting adalah berani jujur terhadap diri sendiri.
“Sikap jujur itu bentuk keberanian. Tidak apa-apa kalau tidak selalu baik-baik saja. Kita tidak harus tampak bahagia atau produktif setiap waktu. Mengakui perasaan sedih adalah bagian dari proses pemulihan,” tutur Anisa.
Selain itu, mahasiswa perlu mengelola ekspektasi. Tidak semua standar harus dipenuhi dan tidak semua peran wajib diambil.
“Belajar berkata tidak tanpa merasa bersalah adalah keterampilan penting yang harus dimiliki,” tambahnya.
Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.