Tren ‘Rojali’ menurut Al-Qur’an

Islam secara tegas melarang pengambilan manfaat secara batil.
Ilustrasi rojali di pusat perbelanjaan. Olah Digital oleh IKHBAR

Ikhbar.com: Fenomena “Rojali” alias “rombongan jarang beli” belakangan menjadi perbincangan hangat di kalangan warganet Indonesia. Tren ini menggambarkan sekelompok orang yang mendatangi pusat perbelanjaan hanya untuk melihat-lihat tanpa melakukan transaksi.

Beberapa pihak menilai bahwa tren ini mencerminkan dinamika budaya urban yang semakin konsumtif secara visual, tetapi minim daya beli.

Melalui tren tersebut, seseorang dinilai memperoleh kepuasan emosional, hiburan, atau sekadar menikmati suasana tanpa melakukan pembelian.

Baca: Fenomena ‘Rojali’ dalam Tinjauan Ekonomi Islam

Pendekatan qur’ani

Menjadi topik hangat di media sosial (medsos), tren “Rojali” pun mendapat sorotan dari berbagai pihak. Ada yang menilainya secara negatif, ada pula yang menganggapnya hanya sebagai fenomena sesaat.

Dalam hal ini, umat Muslim perlu meninjau fenomena “Rojali” secara adil melalui nilai-nilai Al-Qur’an. Alih-alih menghakimi, pendekatan Qur’ani mendorong Muslim untuk melihat latar belakang ekonomi, kebutuhan sosial, serta aspirasi individu yang terlibat.

Nilai-nilai seperti keadilan, empati, dan tanggung jawab sosial dapat menjadi dasar dalam merespons fenomena ini secara proporsional dan konstruktif.

Konsumsi dapat bernilai ibadah jika dilakukan secara seimbang dan bertanggung jawab. Dalam Islam, mengonsumsi yang halal tanpa berlebihan mencerminkan rasa syukur dan kepatuhan kepada Allah. Ketika disertai dengan kesadaran moral, konsumsi bukan sekadar memenuhi kebutuhan, tetapi juga menjadi wujud pengabdian spiritual.

Meski demikian, Islam melarang umatnya melakukan israf, alias berlebih-lebihan, termasuk dalam transaksi ekonomi. Peringatan ini tertuang dalam QS. Al-A’raf: 31. Allah Swt berfirman:

يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ

Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang indah pada setiap (memasuki) masjid dan makan serta minumlah, tetapi janganlah berlebihan. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.”

Syekh Muhammad Ali Al-Shabuni dalam Safwat at-Tafasir menjelaskan bahwa frasa “makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan” pada ayat tersebut merupakan larangan berlebihan dalam segala hal.

Menurut Syekh Al-Shabuni, segala bentuk berlebihan berpotensi menimbulkan kemudaratan. Misalnya dalam hal makan dan minum, jika berlebihan dapat membahayakan kesehatan. Dalam hal pakaian, berlebihan bisa merugikan secara finansial.

Karena itu, pelaku tren “Rojali” diharapkan tetap memegang prinsip thayyib dalam memanfaatkan fasilitas dan ruang publik. Sikap bijak, bersih, dan bertanggung jawab menjadi kunci agar tempat umum tetap layak dinikmati bersama.

Meski tidak melakukan transaksi, kehadiran mereka tetap harus disertai etika dalam menjaga ketertiban dan tidak merugikan pelaku usaha.

Dengan menerapkan nilai thayyib, ruang publik tidak hanya menjadi tempat singgah, tetapi juga mencerminkan kesadaran kolektif untuk saling menghargai.

Baca: Penyebab Munculnya Tren ‘Rojali’ menurut Psikolog

Maslahat dan distribusi

Perputaran harta memegang peran penting dalam menciptakan keadilan ekonomi. Ketika kekayaan tidak terpusat pada segelintir orang dan mengalir secara merata melalui transaksi, zakat, atau konsumsi yang bertanggung jawab, maka kesenjangan sosial dapat ditekan.

Distribusi ini memastikan bahwa setiap lapisan masyarakat mendapatkan akses terhadap peluang ekonomi, sehingga tercipta keseimbangan dan stabilitas sosial yang berkelanjutan. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Hasyr: 7. Allah Swt berfirman:

مَآ اَفَاۤءَ اللّٰهُ عَلٰى رَسُوْلِهٖ مِنْ اَهْلِ الْقُرٰى فَلِلّٰهِ وَلِلرَّسُوْلِ وَلِذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَابْنِ السَّبِيْلِۙ كَيْ لَا يَكُوْنَ دُوْلَةً ۢ بَيْنَ الْاَغْنِيَاۤءِ مِنْكُمْۗ وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِۘ

Apa saja (harta yang diperoleh tanpa peperangan) yang dianugerahkan Allah kepada Rasul-Nya dari penduduk beberapa negeri adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak yatim, orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan. (Demikian) agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu terimalah. Apa yang dilarangnya bagimu tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.”

Dalam Tafsir Al-Mishbah, Prof. Dr. KH Muhammad Quraish Shihab menguraikan bahwa kata “daulah” pada ayat tersebut bukan sekadar bentuk kekuasaan, melainkan sesuatu yang beredar dari satu pihak ke pihak lain.

Dalam konteks harta, kekayaan tidak boleh terkonsentrasi hanya pada sekelompok orang karena hal itu menimbulkan ketimpangan sosial. Sebaliknya, kekayaan harus mengalir dan tersebar merata agar seluruh lapisan masyarakat dapat merasakan manfaatnya. Konsep ini menegaskan pentingnya keadilan ekonomi dalam kehidupan bersama, sebagaimana diajarkan dalam Al-Qur’an.

Baca: Penyebab Munculnya Tren ‘Rojali’ menurut Psikolog

Adab muamalah dan etika ruang publik

Islam secara tegas melarang pengambilan manfaat secara batil. Segala bentuk keuntungan harus diperoleh melalui cara yang halal dan adil.

Islam mengecam praktik penipuan, riba, kecurangan, atau eksploitasi, karena tindakan semacam itu merusak tatanan sosial dan menimbulkan ketidakadilan. Etika ini mendorong terciptanya interaksi yang jujur dan saling menguntungkan dalam masyarakat. Allah Swt berfirman dalam QS. An-Nisa: 29:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ ۗ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan cara yang batil (tidak benar), kecuali berupa perniagaan atas dasar suka sama suka di antara kamu. Janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”

Dalam Tafsir Madarik al-Tanzil wa Haqaiq al-Takwil, Imam Nasafi menjelaskan bahwa larangan memakan harta secara batil mencakup tindakan-tindakan yang bertentangan dengan syariat, seperti pencurian, pengkhianatan, perampasan, serta akad-akad yang mengandung unsur riba.

Menurutnya, satu-satunya cara yang dibenarkan untuk memperoleh harta orang lain adalah melalui transaksi yang sah dan berdasarkan kerelaan kedua belah pihak. Penekanan ini menunjukkan pentingnya kejujuran, keadilan, dan kerelaan dalam setiap interaksi ekonomi agar terhindar dari kezaliman.

Baca: Pengusaha: Fenomena ‘Rojali’ cuma Sesaat

Empati ekonomi

Al-Qur’an mendorong setiap orang untuk tidak hanya fokus pada transaksi atau keuntungan pribadi, tetapi juga berkontribusi nyata dalam kehidupan sosial.

Kontribusi ini bisa berupa waktu, tenaga, perhatian, atau ide yang bermanfaat bagi lingkungan sekitar. Dalam pandangan ini, kehadiran seseorang dinilai dari dampak positif yang ia berikan. Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah: 267:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْفِقُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّآ اَخْرَجْنَا لَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ ۗ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيْثَ مِنْهُ تُنْفِقُوْنَ وَلَسْتُمْ بِاٰخِذِيْهِ اِلَّآ اَنْ تُغْمِضُوْا فِيْهِ ۗ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ

Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu infakkan, padahal kamu tidak mau mengambilnya, kecuali dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya. Ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”

Imam Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an menafsirkan bahwa ayat tersebut mengecam mereka yang bersedekah dari harta yang buruk atau tidak bernilai, yang bahkan mereka sendiri enggan menerimanya.

Kalimat itu menggambarkan sikap munafik dalam memberi—bersedekah bukan karena ketulusan, tetapi demi menyingkirkan sesuatu yang tidak diinginkan.

Menurut Imam Al-Qurthubi, tindakan semacam itu bertentangan dengan adab memberi dalam Islam. Sedekah bukanlah tempat untuk membuang sisa, melainkan ekspresi keikhlasan, penghormatan kepada sesama, dan bentuk ibadah kepada Allah. Jika seseorang memberi sesuatu yang ia sendiri enggan menerimanya, maka hal itu mencerminkan rendahnya penghargaan terhadap ibadah itu sendiri.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.