Tubuh Manusia Terbukti Bercahaya, Padam ketika Meninggal

Ilustrasi siluet tangan manusia dan cahaya. PEXELS/Benjamin Farren

Ikhbar.com: Penelitian gabungan dari University of Calgary dan National Research Council of Canada mengungkap temuan mencengangkan. Manusia dan makhluk hidup lainnya ternyata memancarkan cahaya yang perlahan padam saat kematian tiba.

Eksperimen dilakukan terhadap tikus dan dua jenis daun tanaman. Para peneliti berhasil menangkap fenomena yang disebut biophoton, yaitu pancaran cahaya halus yang dihasilkan tubuh makhluk hidup. Setelah makhluk tersebut mati, pancaran itu langsung berhenti.

Baca: Mengejutkan! Kera Liar Ini Ternyata Bisa Ramu Obat

Fenomena ini bukan sekadar mitos atau kepercayaan kuno tentang aura dan cahaya kehidupan. Dalam uji ilmiah tersebut, pancaran cahaya tampak itu benar-benar terekam secara fisik. Pancaran itu nyaris tak kasatmata, tetapi cukup untuk dibedakan antara tubuh hidup dan mati.

Cahaya yang dimaksud tidak berasal dari suhu tubuh atau cahaya sekitar. Pancaran ini sangat lemah dan tergolong ultraweak photon emission (UPE), jenis cahaya redup yang hanya bisa terdeteksi dengan alat sangat sensitif. Meski sangat kecil, perbedaannya mencolok ketika makhluk hidup itu meninggal.

“Fenomena ini terjadi pada beberapa hewan hidup, tetapi menghilang saat mereka mati,” terang Vahid Salari, fisikawan dari University of Calgary dan ketua tim peneliti, sebagaimana dikutip dalam publikasi resmi di The Journal of Physical Chemistry Letters, Sabtu, 17 Mei 2025.

Pancaran cahaya ini diyakini berasal dari proses kimia alami dalam tubuh. Reaksi tersebut melibatkan molekul oksigen reaktif yang muncul saat sel mengalami tekanan, luka, kekurangan nutrisi, racun, atau serangan patogen. Molekul seperti hidrogen peroksida dapat memicu reaksi kimia yang menghasilkan cahaya sangat halus.

Proses ini serupa dengan chemiluminescence, yaitu cahaya hasil reaksi kimia yang lazim ditemukan di berbagai makhluk hidup. Cahaya seperti itu sebelumnya telah teramati pada jaringan jantung sapi, koloni bakteri, dan berbagai sel hidup lain. Tetapi pengamatan langsung dari seluruh tubuh yang masih hidup dan setelah mati merupakan langkah baru dalam penelitian ini.

Tim peneliti menguji pancaran cahaya dari empat tikus hidup. Masing-masing tikus ditempatkan dalam kotak gelap dan diabadikan dengan kamera sensitif selama satu jam. Setelah itu, tikus dimatikan secara medis dan kembali difoto selama satu jam berikutnya.

Untuk menjaga keakuratan, suhu tubuh tikus dipertahankan tetap hangat setelah mati. Tujuannya agar panas tidak menjadi faktor pembeda dalam pancaran cahaya tersebut.

Hasilnya menunjukkan perbedaan mencolok. Sebelum mati, tubuh tikus memancarkan sejumlah foton dalam spektrum cahaya tampak. Setelah mati, jumlah foton menurun drastis.

Baca: AI Bisa ‘Palsukan’ Sidik Jari

Eksperimen serupa dilakukan pada daun Arabidopsis thaliana dan Heptapleurum arboricola. Tanaman itu diberi tekanan fisik dan zat kimia untuk mensimulasikan stres. Pancaran cahaya pada bagian daun yang rusak jauh lebih terang dibandingkan bagian yang tidak terluka.

“Selama 16 jam pengambilan gambar, bagian luka dari semua daun selalu lebih terang daripada bagian lainnya,” tulis laporan tersebut.

Temuan ini memperkuat dugaan bahwa cahaya redup itu bersumber dari reaksi sel saat menghadapi tekanan. Saat makhluk hidup berada dalam kondisi sehat dan stabil, cahaya itu tetap menyala. Ketika tubuh kehilangan fungsi vital, cahaya perlahan menghilang.

Banyak ilmuwan sebelumnya telah meragukan keberadaan cahaya ini. Bahkan, topik ini sempat dianggap dekat dengan dunia metafisika dan paranormal. Namun, dengan pendekatan ketat dan peralatan canggih, penelitian ini menunjukkan bukti yang dapat diverifikasi secara ilmiah.

Pancaran UPE memang sangat lemah, bahkan bisa tertutup oleh cahaya lingkungan dan panas tubuh biasa. Untuk itu, peneliti menggunakan kamera khusus jenis electron-multiplying charge-coupled device yang mampu menangkap cahaya sangat redup.

Kontras emisi UPE pada empat tikus, saat hidup (atas) dan mati (bawah). Dok SCIENCE ALERT

Kemungkinan penggunaan teknologi ini cukup luas. Jika dikembangkan lebih lanjut, alat ini bisa dimanfaatkan untuk mengamati tingkat stres sel pada manusia, hewan, tanaman, atau bahkan mikroorganisme tanpa prosedur invasif.

Dengan begitu, diagnosa medis dan pemantauan kesehatan bisa dilakukan lebih awal dan lebih aman. Cahaya halus dari tubuh makhluk hidup bisa menjadi penanda alami apakah tubuh sedang sehat atau berada dalam tekanan.

Meski masih dalam tahap awal, hasil ini membuka pintu bagi penelitian lanjut. Cahaya kehidupan yang sebelumnya hanya menjadi bahan dongeng dan kepercayaan, kini mendapat pijakan ilmiah. Cahaya itu nyata, dan ia padam saat nyawa menghilang.

Penelitian ini memberikan dasar baru bagi dunia medis dan biologi molekuler. Selain itu, ia juga mengingatkan tentang kerumitan dan keajaiban tubuh makhluk hidup. Pancaran cahaya yang tak terlihat mata bisa jadi adalah simbol kesehatan sejati, dan padamnya cahaya itu menjadi tanda akhir kehidupan.

Studi ini menjadi bukti bahwa kehidupan tidak hanya bergerak dan bernapas, tetapi juga benar-benar bercahaya.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.