Politik Keseimbangan Spiritual-Rasional

“Saya pilih kekuasaan, karena lewat satu kebijakan, sejuta orang bisa terselamatkan.” ungkap Teguh.
Ilustrasi kepemimpinan muda. Olah Digital oleh IKHBAR

Ikhbar.com: Politik, bagi Wakil Ketua DPRD Kabupaten Cirebon, Teguh Rusiana Merdeka, bukan perkara strategi perebutan suara atau sekadar jalan menuju kekuasaan. Baginya, politik adalah ruang ujian keyakinan, tempat akal dan iman saling menuntun.

“Setiap manusia punya keinginan, tapi Tuhan yang menentukan. Jadi hadapi saja dengan senyuman,” ujar Teguh, menyitir lirik salah satu lagu milik Dewa 19, dalam program Sinikhbar | Siniar Ikhbar di Ikhbar TV, dikutip pada Selasa, 7 Oktober 2025.

Pandangan itu menjadi dasar langkahnya dalam berpolitik. Menurutnya, setiap keputusan harus dilandasi nilai dan tanggung jawab moral, bukan ambisi pribadi.

Baca: Teguh Golkar: Konektivitas Kunci Kesejahteraan Masyarakat

Warisan nilai

Teguh mengaku tumbuh di keluarga yang memahami arti perjuangan. Ayahnya seorang kepala desa, ibunya sosok penopang kesabaran. Dari keduanya, ia belajar bahwa hidup tidak bisa dihindarkan dari ujian, tetapi harus dihadapi dengan keteguhan dan doa.

“Setiap masalah pasti ada pintu keluarnya,” tuturnya.

Nama lengkapnya, Teguh Rusiana Merdeka, pun ia maknai sebagai pesan hidup.

“Teguh berarti kuat, Rusiana itu masalah, dan Merdeka berarti bebas dari masalah. Jadi, ketika ada masalah, keluarga saya kuat dan akhirnya merdeka,” ujarnya sambil tersenyum.

Sejak kecil, ia terbiasa mendengar nasihat untuk bekerja keras, berdoa, dan pantang menyerah. Prinsip itu melekat hingga kini.

“Kalau keinginan belum tercapai, berarti usaha atau doanya kurang,” kenangnya.

Nilai-nilai itu ia bawa dalam menjalankan peran politik. Menurutnya, keseimbangan antara ikhtiar dan keyakinan adalah fondasi moral yang menjaga arah langkah agar tidak menyimpang dari niat awal.

Wakil Ketua DPRD Kabupaten Cirebon, Teguh Rusiana Merdeka (kanan), saat menjadi narasumber dalam program Sinikhbar | Siniar Ikhbar di Ikhbar TV. Dok IKHBAR

Baca: Mengenal Fikih Siyasah, Panduan Politik Umat Islam

Langkah rasional

Gagal masuk Akademi Kepolisian tak membuat Teguh berhenti berjuang. Ia kemudian menempuh pendidikan hukum di Jakarta dan aktif di organisasi mahasiswa. Dari situ, ia menemukan cara lain untuk mengabdi pada masyarakat melalui politik.

“Kalau mau berbuat untuk daerah, cuma ada dua jalur, yakni lewat kekayaan atau kekuasaan,” katanya lugas.

“Saya pilih kekuasaan, karena lewat satu kebijakan, sejuta orang bisa terselamatkan,” ungkapnya.

Bagi Teguh, politik bukan arena ambisi, melainkan bentuk rasionalitas yang dipandu nilai spiritual. Ia menyadari, cita-cita manusia hanya bisa tercapai bila sejalan dengan kehendak Tuhan.

Langkah politiknya kemudian berlabuh di Partai Golongan Karya (Golkar), partai yang ia anggap paling berpengalaman dalam pembangunan bangsa. Di sana, ia belajar arti proses dan kesetiaan terhadap nilai organisasi.

“Di Golkar enggak ada yang sulap-sulapan. Semua harus berproses,” tegas sosok yang juga menjabat sebagai Ketua DPD Partai Golkar Kabupaten Cirebon tersebut.

Baca: Ternyata Ini Bedanya Spiritualitas dan Agama

Antara etika, iman, dan kepemimpinan

Dalam menjalankan peran publik, Teguh berusaha menjaga keseimbangan antara prinsip dan realitas. Ia menolak gaya politik yang sibuk mencari sorotan tetapi minim kerja nyata.

“Hari ini memang eranya media, tapi masyarakat itu butuh bukti nyata,” ujarnya.

Alih-alih tampil sendiri, Teguh memilih menempatkan kader muda di garda depan dan memberi mereka ruang berkembang.

“Kalau cuma nama saya yang muncul, artinya saya gagal mencetak kader baru,” katanya.

Bagi Teguh, kepemimpinan sejati adalah tentang memberi kesempatan, bukan mempertahankan sorotan.

“Kalau pemimpinnya terus muncul, yang di bawah akan kehilangan ruang,” lanjutnya.

Ia juga menegaskan, jabatan bukan simbol prestise (gengsi), melainkan amanah moral. Karena itu, ia lebih suka turun langsung ke masyarakat tanpa pengawalan, mendengar aspirasi dengan cara yang sederhana.

“Kalau perlu orang enggak tahu saya dewan. Biar ngobrol-nya jujur,” ucapnya.

Baca: Mozaik Politik Jazirah Arab sebelum Islam

Menjaga rasionalitas iman

Di tengah politik yang sering diwarnai intrik, Teguh tetap berpegang pada nilai spiritual sebagai jangkar hidup. Menurutnya, manusia tak akan lepas dari politik, sebab politik adalah bagian dari cara mengatur kehidupan bersama.

“Ilmu yang paling sering dipakai itu tiga, yaitu matematika, hukum, dan politik. Kita hidup pasti pakai politik,” ujarnya.

Namun, ia menegaskan, politik yang dimaksud bukan permainan kekuasaan, melainkan ruang pengabdian yang dijalankan dengan niat baik dan istikamah.

“Kalau mau jadi apa, ya harus konsisten. Komitmen juga,” pungkasnya.

Obrolan selengkapnya bisa disimak di:

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.