Ikhbar.com: Di tengah arus kebisingan media sosial, puisi mungkin dianggap tak lagi relevan. Namun, tidak bagi Dr. KH Husein Muhammad.
Dalam program Sinikhbar | Siniar Ikhbar bertajuk “Quatrain Buya Husein” di Ikhbar TV, ulama kharismatik yang juga pengasuh Pondok Pesantren Dar Al-Fikr Arjawinangun, Cirebon tersebut menjelaskan bahwa puisi adalah jalan spiritual yang halus, penuh makna, dan tak bisa disampaikan secara gamblang.
“Puisi itu ditujukan pada orang yang paham kode. Ketika saya menulis puisi, artinya kegelisahan saya sedang ditujukan pada orang yang berada di level-level tertentu,” kata Buya Husein, sapaan akrabnya, dikutip pada Rabu, 9 Juli 2025.

Baca: Kitab Hikam al Hukama wa al Falasifah, Mahakarya Buya Husein Peredam Nafsu dan Amarah
Bagi Buya Husein, puisi bukan hanya estetika bahasa. Puisi adalah wahana dari lapisan hikmah, level berpikir paling tinggi dalam struktur nalar manusia. Di tingkat ini, seseorang tak hanya berbicara logika, tetapi mulai menyampaikan kebenaran melalui bahasa yang puitik, simbolik, dan menyentuh hati.
Bahasa puisi, menurut sosok yang dikenal sebagai pejuang keadilan gender ini, memang tidak vulgar. Namun, justru karena itu, ia mampu menembus lebih dalam.
“Biasanya di tingkat ini, bahasanya tidak tunggal. Langsung menyasar ke hati,” ujarnya.
Sebagai penulis puluhan buku keislaman dan seorang praktisi tasawuf, Buya Husein mengaku kerap menjadikan puisi sebagai ruang ekspresi spiritual sekaligus medium advokasi sunyi. Puisi bisa mengganti keterbatasan peran khotbah yang lantang atau penyampaian ceramah yang panjang. Melalui puisi, kegelisahan, cinta, dan hikmah disampaikan dengan halus, tetapi tajam.
Ikhbar TV menyebut Buya Husein layaknya sebuah quatrain alias puisi empat baris. Atas kesan tersebut, Buya Husein pun mengakui bahwa kesehariannya tak lepas dari empat media dan gagasan berpikir.
“Saya juga baca Rubaiyat-nya Khayyam. Dari situ saya bisa bicara soal sastra, tasawuf, logika, bahkan soal (isu) perempuan,” katanya.
Dalam sejarah sufisme, jalan puisi memang telah menjadi sarana dakwah yang kuat, lembut, dan abadi. Para tokoh besar seperti Jalaluddin Rumi, Ibn Arabi, Rabiah al-Adawiyah, hingga Al-Hallaj, tak sekadar menulis puisi sebagai karya seni, tapi sebagai manifestasi cinta ilahiah dan pencarian makna terdalam kehidupan. Bagi mereka, sebagaimana Buya Husein, puisi adalah bentuk doa yang tak selalu harus dilafazkan keras-keras.
Baca: Mengenal Piramida Pola Pikir Manusia dan Responsnya terhadap Pemahaman Agama
Puisi, bagi Buya, tidak juga perlu menjelaskan segalanya secara langsung. Ada ruang interpretasi, ada kebebasan batin bagi pembaca untuk menyerap maknanya.
“Orang bisa salah paham karena tidak tahu konteksnya. Karena itu saya bilang, orang yang mempublikasikan puisi harus tahu konteks. Harus hati-hati,” tegasnya.
Buya Husein menutup bagian itu dengan pengingat bahwa puisi adalah sarana menyampaikan cinta dan nilai-nilai akhlak, tanpa harus menggurui. Dalam dunia yang gaduh oleh ujaran kebencian dan narasi hitam-putih, puisi akan hadir seperti embun di tengah panasnya suasana.
“Jangan biarkan harimu berlalu tanpa membaca, menulis, membagi pengetahuan, dan menebar cinta,” kata Buya, mengungkapkan prinsip utama dalam dakwahnya.
Pesan ini bukan sekadar nasihat, tapi arah hidup seorang sufi yang telah lama menapaki jalan sunyi, jalan puisi.
Simak obrolan selengkapnya di sini: