Ikhbar.com: Demonstrasi yang digerakkan Generasi Z (Gen Z) di Nepal beberapa waktu lalu berhasil menyita perhatian dunia. Ribuan anak muda turun ke jalan, menyuarakan keresahan mereka terhadap dugaan rasuah atau praktik korupsi yang dianggap merampas masa depan bangsa.
Gerakan tersebut menjadi simbol kegelisahan kolektif generasi muda yang menolak diam di tengah ketidakadilan. Dengan energi dan keberanian khas Gen Z, protes ini menjadi penanda lahirnya gelombang baru perlawanan sosial dan politik di Nepal. Fenomena itu sekaligus menunjukkan bahwa korupsi telah menjadi musuh bersama yang melampaui batas negara dan generasi.
Di sisi lain, praktik korupsi memang merupakan masalah lintas negara yang juga menghantui dunia Islam. Tindakan ini tidak hanya merugikan ekonomi, tetapi juga merusak keadilan dan nilai-nilai luhur ajaran Islam. Oleh karena itu, pembahasan korupsi dalam perspektif keislaman menjadi sangat relevan untuk melihat akar masalah sekaligus solusinya.
Baca: Teladan Gerakan Anak Muda dalam Sejarah Islam
Ghulul dan zulm
Dalam Al-Qur’an, korupsi dikaitkan dengan istilah ghulul (pengkhianatan) dan zulm (kezaliman). Ghulul merujuk pada tindakan mengambil hak yang bukan miliknya secara tersembunyi, sementara zulm menggambarkan perbuatan melampaui batas yang menindas orang lain.
Imam At-Thabari dalam Jami’ Al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an menjelaskan bahwa ghulul adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah, baik dalam urusan harta maupun jabatan.
Sementara itu, Imam Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an menegaskan bahwa zulm mencakup segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang merugikan masyarakat. Dengan demikian, korupsi dalam pandangan Islam bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga dosa besar yang merusak tatanan sosial dan menggerogoti keadilan.
Salah satu ayat yang berisi larangan untuk melakukan praktik korupsi adalah QS. Hud: 85. Allah Swt berfirman:
وَيٰقَوْمِ اَوْفُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيْزَانَ بِالْقِسْطِ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ اَشْيَاۤءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِى الْاَرْضِ مُفْسِدِيْنَ
“Wahai kaumku, penuhilah takaran dan timbangan dengan adil! Janganlah kamu merugikan manusia akan hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di bumi dengan menjadi perusak!”.
Prof. Dr. KH Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menjelaskan, ayat ini tidak hanya berbicara tentang penipuan dalam transaksi jual beli, tetapi juga mencakup segala praktik manipulasi yang merugikan hak orang lain.
Menurutnya, makna kecurangan dalam ayat ini relevan dengan konteks modern, termasuk praktik korupsi yang merajalela di berbagai sektor. Korupsi, pada hakikatnya, adalah bentuk pengurangan hak masyarakat. Uang negara yang seharusnya untuk pembangunan justru dikorupsi, sementara kebijakan yang seharusnya adil malah dipelintir demi kepentingan pribadi atau kelompok.
Prof. Quraish menegaskan bahwa pesan moral dari QS. Hud: 85 adalah menjaga keadilan sosial dan menolak segala bentuk pengkhianatan amanah. Dengan demikian, ayat ini menjadi peringatan tegas bahwa korupsi, dalam segala bentuknya, bukan hanya masalah hukum positif, tetapi juga pelanggaran nilai Qur’ani yang merusak tatanan masyarakat.
Terkait dalil untuk melawan praktik korupsi, terdapat di beberapa ayat, salah satunya QS. An-Nisa: 135. Allah Swt berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاۤءَ لِلّٰهِ وَلَوْ عَلٰٓى اَنْفُسِكُمْ اَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ ۚ اِنْ يَّكُنْ غَنِيًّا اَوْ فَقِيْرًا فَاللّٰهُ اَوْلٰى بِهِمَاۗ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوٰٓى اَنْ تَعْدِلُوْا ۚ وَاِنْ تَلْوٗٓا اَوْ تُعْرِضُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan dan saksi karena Allah, walaupun kesaksian itu memberatkan dirimu sendiri, ibu bapakmu, atau kerabatmu. Jika dia (yang diberatkan dalam kesaksian) kaya atau miskin, Allah lebih layak tahu (kemaslahatan) keduanya. Maka, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang (dari kebenaran). Jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau berpaling (enggan menjadi saksi), sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan.”
Sayid Quthb, dalam Fi Zilal Al-Qur’an menafsirkan QS. An-Nisa: 135 sebagai seruan tegas untuk memperjuangkan keadilan tanpa kompromi. Menurutnya, ayat ini memiliki nuansa revolusioner karena menuntut setiap Muslim berani berdiri di pihak kebenaran, sekalipun harus melawan kepentingan diri sendiri, keluarga, atau kelompok terdekat.
Dalam pandangan Sayid Quthb, keadilan dalam Islam adalah pilar utama yang membebaskan masyarakat dari penindasan, diskriminasi, dan korupsi. Ia menegaskan bahwa ketika keadilan ditegakkan secara konsisten, masyarakat akan terlindungi dari penyalahgunaan kekuasaan yang sering menguntungkan segelintir orang.
Baca: Fikih Demonstrasi: Antara Kebebasan Bersuara dan Akhlak Massa
Jihad lawan korupsi
Jihad dalam Islam tidak terbatas pada perang fisik, tetapi juga mencakup perjuangan melawan kebatilan sosial, termasuk praktik korupsi. Imam Ibn Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim menegaskan bahwa jihad adalah upaya menegakkan kebenaran dan mencegah segala bentuk kezaliman yang merusak kehidupan masyarakat.
Hal senada disampaikan Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin, bahwa jihad terbesar adalah melawan hawa nafsu yang mendorong manusia pada tindakan curang dan merampas hak orang lain, salah satunya melalui tindakan korupsi.
Sementara itu, Sayid Quthb menafsirkan jihad sebagai perjuangan berkesinambungan untuk menolak penindasan dan sistem korup yang melanggengkan ketidakadilan.
Pemikiran para ulama tersebut mempertegas bahwa korupsi adalah musuh bersama yang menghancurkan masa depan generasi. Praktik ini tidak hanya merugikan negara secara materi, tetapi juga merusak tatanan sosial dan menutup peluang anak muda untuk berkembang. Contohnya, ketika anggaran pendidikan, kesehatan, dan pembangunan disalahgunakan, generasi penerus kehilangan hak mereka untuk hidup layak dan berkarya.
Memerangi korupsi berarti menjaga masa depan bangsa sekaligus memastikan generasi mendatang tumbuh dalam lingkungan yang adil, bersih, dan bermartabat.
Baca: Ayat-ayat Panduan Demonstrasi
Peran Gen Z
Gen Z dinilai memiliki potensi dalam membangun bangsa yang bebas dari praktik korupsi. Dengan karakter yang dekat dengan teknologi dan semangat perubahan, kelompok ini dapat menjadi motor penggerak gerakan antikorupsi melalui berbagai langkah nyata.
Pertama, kontrol sosial digital menjadi salah satu kekuatan utama Gen Z. Melalui media sosial (medsos), mereka dapat menyuarakan advokasi keadilan, transparansi, dan akuntabilitas publik.
Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam Government Information Quarterly (2012) menunjukkan bahwa medsos berperan besar dalam mendorong partisipasi warga dan memperkuat kontrol publik, sehingga praktik korupsi bisa lebih mudah terdeteksi dan dicegah.
Kedua, Gen Z dapat melakukan kritik konstruktif berlandaskan nilai-nilai Islam, khususnya amar ma’ruf nahi munkar yang disampaikan dengan hikmah.
Al-Qur’an dalam QS. An-Nahl: 125 menegaskan pentingnya menyeru kepada kebaikan dengan cara yang bijaksana. Imam At-Thabari dalam Jami’ Al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an menambahkan bahwa hikmah dalam berdakwah berarti kemampuan menyampaikan kebenaran tanpa menimbulkan permusuhan. Prinsip ini sangat relevan bagi Gen Z untuk menyuarakan kritik secara santun, tetapi tetap tegas terhadap praktik-praktik yang melanggar keadilan.
Ketiga, keteladanan pribadi adalah modal utama Gen Z dalam membangun budaya antikorupsi. Menolak gratifikasi, hidup sederhana, dan menjaga integritas menjadi bentuk nyata komitmen melawan penyimpangan.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menekankan bahwa kesederhanaan dan kejujuran adalah benteng terkuat manusia dalam menghadapi godaan duniawi, termasuk korupsi.
Hal ini sejalan dengan riset dalam Journal of Business Ethics (2017), yang menegaskan bahwa integritas personal berperan signifikan dalam membentuk lingkungan sosial dan kelembagaan yang bersih dari praktik curang.
Dengan kombinasi kontrol digital, kritik yang bijaksana, dan keteladanan pribadi, Gen Z berpotensi besar menjadi garda terdepan dalam menjaga masa depan bangsa dari ancaman korupsi.
Baca: Daftar Sikap Bijak Khalifah Umar saat Didemo Rakyat
Batas perjuangan
Islam menekankan bahwa perlawanan terhadap ketidakadilan harus dilakukan dengan cara yang adil, bukan anarkis. Prinsip ini menegaskan bahwa memperjuangkan kebenaran tidak boleh berujung pada kerusakan.
Melalui QS. Al-Hajj: 40, Allah memberi izin bagi orang-orang yang dizalimi untuk membela diri. Allah Swt berfirman:
ۨالَّذِيْنَ اُخْرِجُوْا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ اِلَّآ اَنْ يَّقُوْلُوْا رَبُّنَا اللّٰهُ ۗوَلَوْلَا دَفْعُ اللّٰهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَّهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَّصَلَوٰتٌ وَّمَسٰجِدُ يُذْكَرُ فِيْهَا اسْمُ اللّٰهِ كَثِيْرًاۗ وَلَيَنْصُرَنَّ اللّٰهُ مَنْ يَّنْصُرُهٗۗ اِنَّ اللّٰهَ لَقَوِيٌّ عَزِيْزٌ
“(Yaitu) orang-orang yang diusir dari kampung halamannya, tanpa alasan yang benar hanya karena mereka berkata, ‘Tuhan kami adalah Allah.’ Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara, gereja-gereja, sinagoge-sinagoge, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sungguh, Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”
Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam Mafatih Al-Ghaib menjelaskan bahwa ayat ini turun untuk meneguhkan posisi kaum Muslim yang tertindas di Makkah. Menurutnya, izin membela diri tersebut memiliki makna luas, yaitu menjaga harkat manusia sekaligus melindungi kebebasan beragama.
Imam Ar-Razi bahkan menekankan bahwa rumah-rumah ibadah, baik masjid, gereja, sinagoga, maupun biara, wajib dilindungi agar tidak hancur akibat kezaliman. Tafsir ini menunjukkan bahwa Islam menempatkan keadilan dan kebebasan beragama sebagai nilai universal.
Di sisi lain, Islam juga mengajarkan pentingnya menjaga lisan. Perintah ini tertuang dalam QS. Al-Isra: 53. Allah Swt berfirman:
وَقُلْ لِّعِبَادِيْ يَقُوْلُوا الَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ الشَّيْطٰنَ يَنْزَغُ بَيْنَهُمْۗ اِنَّ الشَّيْطٰنَ كَانَ لِلْاِنْسَانِ عَدُوًّا مُّبِيْنًا
“Katakan kepada hamba-hamba-Ku supaya mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (dan benar). Sesungguhnya setan itu selalu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi manusia.”
Imam Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an menafsirkan ayat ini sebagai pedoman agar perdebatan, kritik, atau protes tetap dijalankan dengan bahasa yang lembut dan bijak, sehingga tidak menimbulkan permusuhan.
Baca: Bendera One Piece di Bawah Merah Putih: Telaah Fikih Kebangsaan di Era Kritik Simbolik
Nilai tersebut diperkuat dengan hadis Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan Abu Dawud:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
“Jihad terbaik adalah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa zalim.”
Imam An-Nawawi dalam Riyadhusshalihin menegaskan bahwa hadis ini mengajarkan keberanian moral, tetapi tetap dalam bingkai kesantunan dan etika Islam.
Karena itu, prinsip perlawanan dalam Islam bukan sekadar soal berani bersuara, tetapi juga bagaimana menjaga kedamaian. Menyampaikan kritik harus dilakukan tanpa merusak fasilitas publik atau menebar fitnah. Dengan cara ini, semangat amar ma’ruf nahi munkar tetap terjaga, sementara tatanan sosial tidak dikorbankan.