Riwayat Kedekatan Gus Dur dan Kiai Maman

Foto kenangan Kiai Maman (kanan) dan Gus Dur (kiri). Dok IST

Ikhbar.com: Kedekatan figur penting dalam tradisi pesantren kerap tumbuh dari perjalanan panjang, bukan dari perjumpaan yang dirancang. Ada yang bermula dari tulisan, nasihat, atau peristiwa yang tampak biasa.

Begitu pula hubungan seorang kiai muda dengan Presiden Keempat RI, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ikatan itu berkembang menjadi hubungan spiritual, intelektual, dan persaudaraan yang bertahan lintas waktu.

Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mizan Majalengka, Jawa Barat, Dr. KH Maman Imanulhaq, menuturkan bahwa awal kedekatannya dengan Gus Dur berawal dari puisi yang ia tulis tentang gereja di Cirebon. Puisi tersebut dimuat di Kompas dan tanpa disangka sampai ke tangan Gus Dur. Dari situ, komunikasi pertama terjalin dan kemudian berubah menjadi persahabatan yang ia ingat hingga kini.

“Di sebuah forum, tiba-tiba Gus Dur pegang tangan saya dan bilang, ‘Anda ikut saya’,” ungkap Kiai Maman, sapaan akrabnya, dalam program Sinikhbar | Siniar Ikhbar bertajuk “Menapaki Suluk Al-Mizan Kiai Maman” di Ikhbar TV, dikutip pada Senin, 24 November 2025.

Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mizan, Dr. KH Maman Imanulhaq (kanan), saat menjadi pembicara dalam program Sinikhbar | Siniar Ikhbar bertajuk “Menapaki Suluk Al-Mizan Kiai Maman” di Ikhbar TV. Dok IKHBAR

Baca: Yang Sulit Diteladani dari Gus Dur

Kiai Maman menceritakan bahwa pertemuan tersebut menjadi titik balik yang membuatnya mengenal sisi lain Gus Dur yang jarang terlihat publik. Salah satunya menyangkut kedisiplinan ibadah. Ia pernah menyaksikan bagaimana Gus Dur selalu menjaga wudu dan menunaikan salat meskipun sedang bepergian.

“Saya rutin melihat bagaimana beliau wudu lalu salat di atas kursinya,” katanya.

Menurut Kiai Maman, pengalaman itu sekaligus membantah anggapan miring yang kerap diarahkan publik kepada Gus Dur karena gaya humornya atau sikap kritiknya yang tak lazim.

“Karena saat itu banyak juga yang memfitnah bahwa Gus Dur enggak pernah salat,” ungkapnya.

Baca: 3 Ciri ‘Gus’ Sejati menurut Kiai Maman

Kedekatan keduanya sarat percakapan pendek yang membentuk cara pandang Kiai Maman tentang bangsa dan agama. Ia mengingat satu percakapan yang masih melekat hingga kini. Suatu hari, Gus Dur bertanya, “Anda tahu enggak kenapa kita dekat?” Kiai Maman menjawab dengan kisah doanya, tetapi Gus Dur menimpali bahwa ayahnya dahulu mengalami kecelakaan dalam perjalanan menuju Sumedang, daerah asal keluarga Kiai Maman.

“Kalau ayah kita saja dulu sudah ada tanda hubungan, kenapa kita tidak dekat?” kata Gus Dur.

Bagi Kiai Maman, ucapan itu membuatnya merinding karena merasa kedekatan tersebut memiliki jejak emosional yang panjang.

Di luar hubungan personal, keduanya sering berdiskusi tentang politik dan arah masa depan Indonesia. Gus Dur kerap mengingatkan bahwa negara ini tidak runtuh oleh perbedaan atau bencana, melainkan oleh dua hal: kerusakan moral elite dan padamnya harapan rakyat kecil.

Pandangan itu mengena bagi Kiai Maman, terlebih karena ia melihat sendiri bagaimana Gus Dur hidup tanpa mengejar kekayaan. Ia mengingat peristiwa ketika uang honor sebagai pembicara yang diterima mereka dikumpulkan, lalu dibagi untuk disalurkan kepada para kiai lain.

“Gus Dur tidak membawa uang sepeser pun,” ujarnya.

Baca: Menjaga Kepak Sayap Keseimbangan Pesantren

Kisah kedekatan tersebut turut menunjukkan cara Gus Dur memandang relasi antarmanusia sebagai ruang untuk saling menguatkan dalam kesederhanaan. Kiai Maman menyampaikan pengalamannya ketika hendak memvideokan Gus Dur dan menawarkan agar Bapak Bangsa itu lebih dulu mengenakan sarung dan kopiah, tapi Gus Dur menolak dan memilih tampil apa adanya.

Bagi Kiai Maman, sikap itu mencerminkan kerendahan hati seorang pemimpin besar yang tidak pernah memosisikan diri di atas siapa pun.

“Kesederhanaan, itu ajaran utama Gus Dur,” katanya.

Hingga kini, menurut Kiai Maman, kedekatan tersebut tetap hidup dalam ingatan dan nilai. Pesan Gus Dur untuk menjaga Nahdlatul Ulama (NU), merawat Indonesia, dan terus membangun keseimbangan politik menjadi pegangan moral yang ia bawa dalam setiap langkah.

“Kedekatan dengan Gus Dur itu anugerah. Tapi bukan hanya cerita masa lalu, saya jadikan itu sebagai fondasi spiritual untuk terus melayani masyarakat,” katanya.

Obrolan selengkapnya bisa disimak di:

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.