Ikhbar.com: Pemerintahan Taliban di Afganistan belum lama ini menerapkan aturan baru terhadap perempuan. Mereka dilarang bersuara ketika berada di luar rumah.
Dikutip dari Associated Press, Undang-undang (UU) tersebut dikeluarkan pada Rabu, 21 Agustus 2024 setelah disetujui oleh pemimpin tertinggi Hibatullah Akhundzada.
“Pemerintahan Taliban juga telah membentuk Kementerian Pencegahan Maksiat setelah merebut kekuasaan pada 2021,” tulis Associated Press.
Secara lengkap, UU tersebut menyebutkan bahwa perempuan harus menyembunyikan tidak hanya wajah dan tubuh, tetapi juga suara mereka ketika berada di luar rumah.
Baca: Pemerintah Taliban Larang Perempuan Berkuliah
Aturan baru tersebut membuat pihak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) buka suara. Mereka secara tegas mengecam UU yang dinilai telah merampas kebebasan perempuan tersebut.
Kepala misi PBB di Afganistan, Roza Otunbayeva mengaku miris dengan UU baru Taliban tersebut. Ia menilai bahwa kebijakan mereka telah memperluas pembatasan terhadap perempuan yang sudah tidak dapat ditoleransi.
“Ini sungguh menyedikah. Mereka menganggap suara perempuan di luar rumah sebagai pelanggaran moral,” katanya.
Jauh sebelum aturan tersebut diberlakukan, Taliban sudah cukup lama melenyapkan hak perempuan dari kehidupan publik. Kebijakan itu mereka terapkan sejak berhasil merebut kekuasaan pada Agustus 2021. Mereka melarang kaum hawa untuk meraih pendidikan yang tinggi.
“Selain meraih pendidikan, perempuan di Afganistan juga dilarang untuk bekerja dan tergabung dalam organisasi non-pemerintahan,” tulis laporan tersebut.
Tidak cukup di situ, Taliban juga memerintahkan penutupan salon kecantikan dan melarang perempuan pergi ke pusat kebugaran.
“Perempuan juga tidak dapat keluar rumah tanpa wali laki-laki,” katanya.
Peneliti di Human Rights Watch (HRW), Fereshta Abbasi menilai, aturan baru Taliban tersebut tidak hanya menandakan kontrol, tetapi juga konsolidasi cengkeraman otoriter pemerintahan setempat.
“Kekhawatiran kami adalah Taliban akan menerapkan undang-undang ini dengan cara yang paling buruk. Tidak akan ada yang namanya privasi bagi warga Afganistan, dan undang-undang ini menciptakan platform terbuka untuk pelanggaran hak asasi manusia lebih lanjut di negara ini,” ujarnya.
UU baru Taliban itu memantik salah satu perempuan setempat buka suara. Amira (nama samaran) mengaku sedih tidak bisa melanjutkan studinya sejak Taliban berkuasa.
Padahal sebelumnya, ia tercatat sebagai mahasiswa jurnalistik di sebuah Universitas di Kabul. Amira mengaku khawatir aturan tersebut bisa membuat perempuan di Afganistan kian tertinggal.
“Setelah bertahun-tahun berperang, kami masih merasa tidak aman dan sekarang menghadapi perang jenis baru atas nama agama. Kami disingkirkan dari masyarakat, hidup seolah-olah di dalam penjara sementara perempuan di tempat lain terus maju,” katanya.
Senada dengan itu, Roya (juga nama samaran) mempunyai keresahan yang sama. Ia menggap bahwa aturan Taliban itu membuat para perempuan kian tertindas.
“Sebagai perempuan Afganistan, sulit membayangkan hidup dalam kondisi seperti ini. Jika saya, sebagai perempuan pekerja, merasa tertindas, bagaimana dengan perempuan yang lebih banyak tinggal di rumah?,” ujar perempuan yang bekerja untuk sebuah organisasi pengungsi di provinsi Nangarhar itu.
Ia memprediksi bahwa aturan tersebut akan berlangsung lama. Bisa saja, kata dia, UU yang berlaku bisa membuatnya prustasi dan bunuh diri.
Meskipun mendapat banyak kritikan, rezim militan Taliban sejauh ini belum menunjukkan tanda-tanda bersedia mencabut kebijakan garis keras ini.
Pemimpin tertinggi kelompok itu, Hibatullah Akhundzada, malah bersikeras bahwa perempuan Afganistan diberikan kehidupan yang nyaman dan sejahtera.
Selain aturan yang dinilai mengekang perempuan, Pemerintahan Taliban juga menerapkan aturan yang cukup ketat terhadap penampilan laki-laki.
“Laki-laki, terutama mereka yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) akan dipecat jika tidak memanjangkan jenggotnya,” tulis aturan tersebut.
Dalam kurun waktu setahun terakhir, Kementerian Pencegahan Kejahatan dan Penyebaran Kebajikan telah memecat lebih dari 280 tentara Taliban karena tidak menumbuhkan jenggot.
“Kementerian juga menahan lebih dari 13.000 orang karena dianggap telah melakukan tindakan tidak bermoral sesuai dengan interpretasi mereka terhadap Syariah atau hukum Islam,” katanya.
Lebih lanjut, mereka juga melarang homoseksualitas, adu binatang, perayaan budaya, bermain musik di tempat umum dan hari raya keagamaan selain Islam. Selain itu, mereka juga penggunaan kembang api, dan lain sebagainya.