Ikhbar.com: Prof. Dr. Phil. Sahiron Syamsuddin, MA berkesempatan menjelaskan pengertian Pendekatan Ma’na Cum Maghza dalam Penafsiran Al-Qur’an pada acara Public Lecture yang diselenggarakan oleh Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Jumat, (2/12/2022).
Dalam acara yang berlangsung di gedung ICC IAIN Cirebon itu, Prof. Sahiron pertama-tama menjelaskan definisi Ma’na Cum Maghza.
Menurutnya, dari segi bahasa, Ma’na Cum Maghza itu merupakan pengambilan kombinasi dari bahasa Arab dan Latin.
“Kata ‘Ma’na’ itu bahasa arab, begitupun penggunakan kata ‘Maghza’. Keduanya merupakan simbol pendekatan yang masih mempertahankan Ulumul Qur’an,” katanya.
Sedangkan kata ‘Cum’, kata Prof. Sahiron, yakni memiliki arti layaknya ‘Wawu Ma’iyah’.
“Jadi dari satu sisi mempertahankan Ulumul Quran, sisi lain, ‘Cum’ bahasa latin yang artinya ‘Wawu Ma’iyah. Jika demikian maka artinya Ma’na bersama Maghza,” jelasnya.
Ia menjelaskan, penggunaan kata ‘Cum’ yang diadopsi dari bahasa Latin karena terinspirasi dari hermenutika barat.
“Maka saya berinisiatif untuk menggabungkan tradisi keislaman, sisi lain ilmu di luar tradisi Islam itu kita perhatikan, asalkan hakikat Qur’an sebagai wahyu masih tetap terjaga,” ujar Prof. Sahiron.
Lebih lanjut, Prof. Sahiron menjelaskan, dalam penerapan Pendekatan Ma’na Cum Maghza ini setidaknya dapat menggali 3 hal, yakni Al Ma’na Attarikhi, Al Maghza Attarikhi, dan Al Maghza Al Mutaharrik Al Mu’asir.
“Al Ma’na Attarikhi yanni makna historis dari ayat yang ditafsirkan. Maksudnya makna yang mungkin dikehendaki atau dimaksudkan Allah ketika menurunkannya kepada Nabi Muhammad atau juga yang dipahami audiens pertamanya al-Qur’an, yakni Nabi Muhammad dan para sahabatnya,” ucapnya.
Misalnya, kata Prof. Sahiron, jika menafsirkan hadis, maka akan mencari Al Ma’na Attarikhinya, yaitu sesuatu yang dimaksud Nabi Muhammad ketika menyampaikanya kepada sahabat.
Berikutnya, kata Prof. Sahiron, yakni menggali Al Maghza Attarikhi, yaitu pesan utama dari ayat itu pada masa Nabi Muhammad.
“Dua hal itu harus digali secara serius dan hati-hati,” jelasnya.
Setelah didapatkan secara metodologinya, maka tahap berikutnya yakni mengembangkan mufassir mengembangkan signifikansi teks tersebut ke dalam situasi kekinian, atau sesuai waktu yang tempat.
“Inilah yang disebut Al Maghza Al Mutaharrik Al Mu’asir, atau signifikansi dinamis yang kekinian,” ucapnya.
Mengambil pendapat Asyathibi, Prof Sahiron menjelaskan bahwa jika seseorang ingin memahamai bahasa Arab, maka harus memahami bahasa orang Arab pada abad ke-7.
“Pendapat Asyathibi itu mirip dengan pendapat Schleiermacher yang mengatakan ‘Seorang Penafsir harus memahami area bahasa yang sedang ditafsirkan, bisa kapan bahasa ini muncul, di mana posisinya, dan bidangnya apa’,” jelasnya.
Menurutnya, Asyathibi menjelaskan bahwa jika tidak memahami area bahasa, maka seseorang tidak berhasil, atau gagal dalam memahami al-Qur’an.