Ikhbar.com: Majelis Ulama Indonesia (MUI) akan menggelar Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII. Kegiatan yang rutin digelar tiga tahun sekali itu bakal dihelat di Bangka Belitung pada 28-31 Mei 2024 mendatang.
Ketua MUI Bidang Fatwa sekaligus Ketua SC Ijtima Ulama VIII, KH Asrorun Ni’am Sholeh menjelaskan, salah satu tujuan diselenggarakannya kegiatan tersebut yakni untuk menjawab berbagai permasalahan aktual yang dihadapi umat.
“Hasil dari ijtima ulama nantinya bakal dijadikan panduan bagi umat dalam kehidupan beragama dan berbangsa,” ujar sosok yang juga Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta itu dikutip dari laman MUI pada Sabtu, 20 April 2024.
Baca: Tak Perlu Dipolisikan, MUI dan PBNU Kompak Ajak Umat Islam Maafkan Pendeta Gilbert
Ia menjelaskan, secara umum kegiatan tersebut akan membahas tiga tema, yakni masail asasiyah wathaniyah (strategis kebangsaan), masail fiqhiyah mu’ashirah (permasalahan keagamaan kontemporer), dan masail qauniyah (permasalahan yang terkait dengan peraturan perundang-undangan).
Pra Ijtima Ulama
Di samping itu, Kiai Asrorun Niam menyampaikan bahwa akan digelar kegiatan Pra Ijtima Ulama sebelum acara inti. Acara tersebut bakal dihelat di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur dan Madrasah Muallimin Muhamadiyah Yogyakarta.
Ia mengatakan, Pra Ijtima Ulama VIII di Pondok Pesantren Salafiyah Sya’fiyah tersebut akan membahas mengenai Fiqih Hubungan Antarumat Beragama.
“Setidaknya ada tiga pembahasan penting yakni salam lintas agama, salah satunya terkait umat Muslim yang mengucapkan selamat atas hari raya agama lain, dan pengucapan ‘Assalamualaikum’ bagi non Muslim dan hukum menjawabnya,” jelas dia.
Kiai Asrorun Niam menyadari bahwa pembahasan tersebut akan menjadi isu publik. Meski demikian, ia menjamin gagasan tersebut akan menghasilkan pemahaman yang mudah dicerna.
“Dengan keilmuan dan kedalaman bahasan para ulama, dengan pertimbangan aspek sosiologis sehingga fatwa ini nanti bisa mudah dicerna, minim kontroversi, dan kemudiaan bisa dipedomani,” katanya.
Menurutnya, persoalan tersebut kerap menjadi pembahasan tahunan dan tidak menemukan solusi. Apakah hal itu termasuk permasalah muamalah atau berkaitan dengan ibadah.
“Maka harus ada ikhtiyat, kalau muamalah mengoptimalkan pertimbangan kemaslahatan, atau jangan-jangan ini mix (campuran) antara ibadah dan muamalah?,” ungkapnya.
Ia mengungkapkan, MUI Pusat sudah menyampaikan kepada MUI Provinsi untuk meminta pendapat. Hasilnya, kata dia, ada pertanyaan apakah salam ini membuat toleransi semakin tumbuh di Indonesia atau tidak.
“Apakah orang yang diberikan salam itu nyaman? Seperti kita, apakah kita merasa terhormat ketika mendengarkan assalamualaikum dari umat agama lain? Jangan-jangan ada gap antara apa yang diprogramkan dengan apa yang seharusnya dilaksanakan oleh masing-masing agama,” jelasnya.
Menurutnya, jika permasalahan tersebut dibiarkan, maka akan menjadi adat yang diterima oleh masyarakat sebagai norma. Apakah itu menjadi adat yang baik atau tidak dan terus menimbulkan pertanyaan.
“Pertimbangan-pertimbangan seperti itu merupakan tema dalam fiqih hubungan antar umat beragama,” jelasnya.
Tujuannya, kata dia, agar ada keputusan terkait permasalahan itu tidak menimbulkan hiruk-pikuk yang tidak perlu.
“Kita ingin masuk tanpa gejolak dan substansinya bisa dipahami secara utuh, payungnya adalah fikih hubungan antar umat beragama, sementara nalarnya kita berikan panduan,” tuturnya.
Sedangkan Pra Ijtima Ulama VIII di Madrasah Muallimin Muhamadiyah Yogyakarta akan membahas diskusi muzakarah.
Dalam kesempatan itu, Kiai Asrorun Njam mengungkapkan bahwa terjadi jual beli gagasan hingga menjumpai beberapa masalah yang disepakati dari pertimbangan aspek teknis, politik yang menjadi referensi, tetapi tidak keluar dari rumusan perspektif keagamaan.
“Masalah keagamaan yang kita bahas harapannya berkontribusi yang solutif terhadap masalah kemasyarakatan, praktik kenegaraan, dan masalah kemanusiaan secara umum,” katanya.
Ia menyampaikan, kegiatan tersebut merupakan khidmah dari MUI, baik ada sinergi maupun tidak. Karena dalam prinsipnya tidak ada fatwa tukang.
“Artinya kalau fatwa tukang itu ada order kita bahas, itulah khittah yang kita komitmenkan dan kita konsistensikan,” tegasnya.
Meski demikian, ia mengungkapkan bahwa memang ada dukungan dari berbagai pihak, seperti BPKH, Baznas maupun yang lainnya. Tetapi terkait fatwa keagamaan, pihaknya dengan tegas tidak menerima.
Ia menegaskan, siapapun punya hak bertanya soal fatwa, tetapi tidak bisa memasan fatwa. “Ini yang selama ini kita jaga,” tegasnya.