Ikhbar.com: Dosen Psikologi Universitas Gunadarma, Jakarta, M. Noor Rochman Hadjam mengungkapkan, sebanyak 61% remaja pernah berpikir untuk mengakhiri hidup. Hal itu karena kebanyakan mereka menerapkan gaya hidup hedon dan mengalami tekanan sosial.
“Penyebab itu diperparah dengan adanya media sosial yang berperan besar dalam meningkatkan risiko depresi di kalangan remaja,” ujar M. Noor dikutip dari RRI pada Rabu, 28 Agustus 2024.
Ia menilai, kemudahan akses internet dan keinginan untuk memenuhi standar sosial yang tinggi sering kali berbenturan dengan kondisi ekonomi remaja yang tidak mendukung. Hal itu dapat menyebabkan rasa keputusasaan dan tekanan mental pada remaja.
Baca: Kacamata Gus Dur Kunci Sukses Praktisi Psikologi
“Anak muda sekarang maunya instan, tidak mau menunda kepuasan melalui proses. Sedangkan saat ini untuk mendapatkan uang tidak mudah,” ujarnya.
Selain gaya hidup mewah, M. Noor juga mengatakan bahwa faktor lain yang menyebabkan remaja ingin bunuh diri adalah kualitas mental mereka yang mudah rapuh.
“Masalah kesehatan mental remaja Indonesia berada dalam kondisi darurat. Hal itu menyoroti adanya tekanan dari berbagai faktor yang memicu perasaan putus asa,” ucap dia.
Ia menegaskan, masalah kesehatan mental para remaja yang berasal dari faktor internal maupun eksternal tersebut menuntut perhatian serius dan penanganan komprehensif.
“Sebab, kepribadian yang rapuh menjadi faktor awal depresi. Sementara perasaan tidak berdaya dan tidak memiliki harapan bisa membuat munculnya keinginan untuk mengakhiri hidup di kalangan remaja,” tandasnya.
Mental toxic
Sementara itu, Riset Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) bersama University of Queensland di Australia dan Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health di Amerika Serikat (AS) pada 2022 menunjukkan satu dari tiga remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental.
“Sementara satu dari dua puluh remaja Indonesia (sekitar 5.5 persen) memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir,” tulis penelitian tersebut.
Angka tersebut setara dengan 15,5 juta dan 2,45 juta remaja. Survei kesehatan mental nasional ini adalah pertama yang mengukur untuk gangguan mental pada remaja 10–17 tahun di Indonesia.
Remaja dalam kelompok ini adalah mereka yang terdiagnosis dengan gangguan mental sesuai dengan panduan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Edisi Kelima (DSM-5). Buku tersebut menjadi panduan penegakan diagnosis gangguan mental di Indonesia.
Menurut Aktivis Kesehatan Mental, Renggi Ardiansyah, salah satu alasan mengapa laki-laki lebih banyak melakukan percobaan bunuh diri adalah adanya stigma toxic masculinity.
“Toxic masculinity adalah laki-laki dipaksa untuk meredam setiap emosi yang dirasakan, bahwa laki-laki harus selalu baik baik saja,” kata Renggi.
Ia menjelaskan, toxic masculinity merupakan stigma bahwa laki-laki harus tangguh dan dapat menahan emosi apa pun yang dirasakannya.