Ikhbar.com: Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, bertemu Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, di Gedung Putih untuk membahas pasca-perang dengan Iran dan proposal gencatan senjata 60 hari di Gaza. Namun, sejumlah pengamat meragukan hasilnya.
Trump mengeklaim bahwa AS dan Israel telah “menghancurkan” program nuklir Iran dalam perang 12 hari. Ia menyebut kesepakatan gencatan senjata bisa tercapai pekan depan.
“Saya akan bersikap sangat tegas terhadap Netanyahu,” ujar Trump, dikutip dari Al Jazeera, pada Senin, 7 Juli 2025.
Hamas sudah memberi respons positif atas mediasi Qatar dan Mesir, tetapi mengajukan sejumlah perubahan yang dinilai Israel tidak dapat diterima. Meski begitu, delegasi Israel dijadwalkan menuju Qatar untuk pembahasan lanjutan.
Draf kesepakatan yang bocor ke publik memuat jeda perang selama 60 hari, dan pembebasan bertahap 58 sandera Israel yang ditahan di Gaza sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023.
Baca: Ratusan Insan Media Tuduh BBC Jadi Corong Israel
Perang ini telah menewaskan sedikitnya 57.000 warga Palestina, mayoritas perempuan dan anak-anak. PBB dan sejumlah ahli hukum menyebutnya sebagai genosida. Meski begitu, banyak pengamat pesimis.
“Cara pembicaraan ini disusun membuat saya ragu,” ujar Omar Rahman dari Middle East Council for Global Affairs.
Ia menilai Trump hanya fokus pada pembebasan sandera, bukan penderitaan warga Gaza.
Pakar dari International Crisis Group, Mairav Zonszein, mengingatkan bahwa gencatan senjata bisa saja singkat.
“Israel masih sering menyerang Gaza tanpa konsekuensi,” katanya.
Jurnalis Gaza, Yaser al-Banna, menyebut warga terbagi dua: sebagian berharap, lainnya tak percaya Netanyahu akan mematuhi kesepakatan. Netanyahu tetap menuntut “kemenangan total atas Hamas” tanpa definisi yang jelas.
Trump sendiri diyakini ingin menyelesaikan isu Gaza agar bisa mengejar normalisasi hubungan Israel dengan negara-negara Arab.
“Trump ingin bisa mengatakan bahwa ia mengembalikan sandera Israel dan membentuk negara Palestina,” ujar Khaled Elgindy dari Georgetown University.
“Tapi itu jauh lebih sulit dari yang ia bayangkan,” tambah dia.
Netanyahu diprediksi akan menggunakan hasil perundingan ini sebagai alat kampanye menjelang pemilu sebelum Oktober 2026.
Jika berhasil membawa pulang sandera, ia bisa memicu pemilu dini dengan popularitas tinggi. Namun, jika mendorong gencatan senjata permanen, koalisi sayap kanan yang rapuh bisa runtuh.
Isu personal juga ikut bermain. Netanyahu tengah diadili atas tuduhan korupsi. Jabatan perdana menteri melindunginya dari proses hukum, termasuk dengan menunjuk loyalis di pengadilan dan mengulur sidang.
Trump tampaknya menyadari hal ini. Ia menyebut persidangan Netanyahu sebagai “perburuan penyihir” dan mendesak Israel untuk menghentikannya.
Baca: Bos Baru Hamas: Sudah Waktunya Israel Takluk!
Dalam unggahan 28 Juni lalu, Trump bahkan mengancam akan menangguhkan bantuan militer AS ke Israel, senilai triliunan rupiah, jika dakwaan tidak dicabut.
“Ini gaya diplomasi Trump: ancaman dan tekanan,” kata Elgindy.
Namun, keputusan mengampuni Netanyahu ada di tangan Presiden Israel Isaac Herzog. Meski secara teori bisa dilakukan demi mencapai gencatan senjata, Herzog belum memberi isyarat akan melakukannya.
Beberapa ahli hukum justru menyarankan kesepakatan hukum hanya jika Netanyahu bersedia pensiun dari politik, hal yang belum ia tunjukkan niatnya.