Riset: Perempuan Punya Peran Kuat Sejak Awal Peradaban Manusia

Ilustrasi kesetaraan gender. Foto: Shutterstock

Ikhbar.com: Anggapan bahwa masa prasejarah pernah menjadi “zaman keemasan” bagi perempuan kembali menjadi perdebatan di kalangan ilmuwan.

Mitos tentang “surga feminis” atau masa ketika perempuan memegang kekuasaan dan masyarakat hidup damai sebelum hadirnya sistem patriarki (sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pihak dominan) memang menarik. Namun, hasil riset terbaru menunjukkan bahwa sejarah hubungan gender jauh lebih kompleks dari sekadar kisah dominasi satu pihak.

Menurut laporan The Guardian pada Selasa, 7 Oktober 2025, teori bahwa manusia prasejarah hidup dalam masyarakat egaliter (setara antara laki-laki dan perempuan) sebelum munculnya patriarki, kini mulai dikaji ulang oleh para peneliti.

Pandangan tersebut awalnya dipopulerkan filsuf Jerman, Friedrich Engels, pada abad ke-19. Ia berpendapat bahwa sistem sosial berubah seiring berkembangnya pertanian sekitar 10.000 tahun lalu.

“Saat kekayaan mulai terakumulasi, laki-laki mengambil peran dominan karena keterlibatan mereka dalam perang dan pewarisan harta,” kata Engels.

Baca: Biang Kerok Terbit dan Tenggelamnya Tradisi Riset Islam di Masa Ottoman

Namun, penemuan ancient DNA atau DNA kuno dalam dua dekade terakhir mengubah cara ilmuwan memandang relasi gender masa lampau. Melalui analisis genetik dan kimia pada tulang manusia purba, para peneliti dapat menentukan jenis kelamin serta asal-usul individu kuno.

Hasilnya menunjukkan bahwa keragaman peran antara laki-laki dan perempuan sudah menjadi hal wajar sejak ribuan tahun silam. Tidak ditemukan bukti kuat tentang “titik balik” dari masyarakat matriarki (berpusat pada perempuan) ke patriarki.

Sejumlah temuan arkeologis mendukung eksistensi masyarakat matrilineal, yaitu sistem sosial yang menurunkan garis keturunan melalui pihak perempuan di berbagai wilayah dunia.

Pada 2017, peneliti Amerika menemukan komunitas elit berstruktur matrilineal di Chaco Canyon, New Mexico, yang hidup sekitar abad ke-10. Sementara studi terbaru dari Tiongkok pada 2025 mengungkap adanya komunitas pertanian matrilineal berusia lebih dari 3.000 tahun.

Penemuan serupa di Eropa dan Kepulauan Inggris memperlihatkan bahwa sistem garis keturunan perempuan bukanlah pengecualian, melainkan bagian dari keragaman sosial manusia.

Meski begitu, status tinggi perempuan dalam masyarakat matrilineal tidak selalu berarti mereka memegang kekuasaan politik. Dalam banyak kasus, keputusan penting tetap dibuat laki-laki, biasanya saudara perempuan, bukan suami mereka.

Namun sejarah juga menunjukkan bahwa perempuan memiliki kekuatan tersendiri melalui “soft power”, yakni pengaruh halus yang digunakan tanpa kekerasan, seperti menjadi penasihat, mediator, atau pemimpin spiritual.

Temuan arkeologi dan antropologi juga menunjukkan bahwa perempuan di masa lampau tidak hanya berperan dalam ranah domestik. Mereka ikut berburu, terlibat dalam peperangan, bahkan menjadi penyembuh atau dukun. Fakta ini menegaskan bahwa tidak ada peran sosial yang secara universal tertutup bagi perempuan.

Bahkan dalam masyarakat patriarkal sekalipun, perempuan tetap memiliki ruang untuk memengaruhi keputusan besar dalam komunitasnya.

Riset terbaru juga menunjukkan bahwa perubahan ekonomi dan konflik berpengaruh terhadap bentuk hubungan gender. Studi di Tibet, misalnya, menemukan bahwa desa-desa matrilineal menjadi lebih netral secara gender dalam 70 tahun terakhir akibat perubahan menuju ekonomi pasar.

Antropolog dari Universitas Yale, Carol Ember, menjelaskan bahwa konflik internal dalam masyarakat sering kali mendorong munculnya sistem patrilineal, yakni garis keturunan melalui pihak laki-laki.

Hal itu terjadi karena kelompok yang sering berperang cenderung mempertahankan garis keturunan laki-laki demi menjaga identitas dan kekuatan kelompok.

Hingga kini, masyarakat matrilineal masih bertahan di beberapa wilayah dunia, seperti Mosuo di Tiongkok dan Hopi di Arizona, Amerika Serikat — keturunan dari kelompok kuno Chaco Canyon.

Meski jumlahnya terus menurun akibat pengaruh budaya patriarki modern, keberadaan mereka menjadi pengingat bahwa kesetaraan gender bukan sekadar gagasan modern, melainkan warisan yang telah mengakar sejak masa lampau.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.