Ikhbar.com: Anggota Komisi IV DPR RI, Prof. Dr. Ir. H. Rokhmin Dahuri, menyampaikan sejumlah catatan penting dalam Rapat Kerja Komisi IV DPR RI bersama Menteri Pertanian (Mentan) pada Senin, 24 November 2025. Mulai dari capaian swasembada beras, kesejahteraan petani, perlindungan lahan, hingga persoalan tata kelola sawit dan Satgas PKH turut menjadi sorotan.
Dalam rapat tersebut, Prof. Rokhmin memberikan apresiasi kepada Kementerian Pertanian (Kementan) atas capaian produksi yang diperkirakan mampu membawa Indonesia kembali mencapai swasembada beras tahun ini. Ia menyampaikan bahwa produksi diproyeksikan mencapai sekitar 34 juta ton, sementara konsumsi berada di kisaran 31 juta ton.
“Ini adalah era kebangkitan pertanian, seperti yang saya sampaikan pada RDP pertama,” ujarnya.
Ia juga menilai kenaikan Nilai Tukar Petani (NTP) dari 119 menjadi 124,3 serta realisasi anggaran Kementan yang berpotensi mencapai 93,8% pada akhir tahun sebagai capaian positif.
Namun, ia mengingatkan agar prestasi tersebut tidak membuat pemerintah lengah. Mengingat El Niño tahun ini relatif pendek, Rokhmin meminta langkah mitigasi pangan disiapkan jika ke depan menghadapi kondisi iklim ekstrem yang lebih panjang.
Prof. Rokhmin juga menyoroti kesejahteraan petani yang dinilai belum sesuai harapan. Berdasarkan data BPS, pendapatan petani rata-rata sekitar Rp2,4 juta per bulan, masih berada di bawah rata-rata nasional Rp2,7 juta per bulan. Ia mengingatkan agar indikator kesejahteraan tidak hanya bertumpu pada NTP, melainkan pada pendapatan riil.
Merujuk standar Bank Dunia, ia menyebut petani sejahtera berada pada kisaran pendapatan Rp7,5 juta per bulan. “Terus Pak, upayakan agar kesejahteraan petani itu terus meningkat,” pintanya kepada Mentan.
Prof. Rokhmin mendorong agar swasembada tidak berhenti pada beras, tetapi diperluas ke komoditas seperti jagung, kedelai, gula, dan daging. Ia yakin target tersebut dapat dicapai di masa kepemimpinan Presiden Prabowo, selama dipadukan dengan dukungan penuh dari kementerian.
Selain itu, ia mengemukakan temuan lapangan saat kunjungan kerja ke Bali. Menurutnya, belum terlihat pengembangan varietas tanaman yang tahan perubahan iklim. Padahal, ia pernah mendengar adanya riset mengenai padi yang tahan terhadap peningkatan temperatur maupun kadar salinitas.
Baca: Prof Rokhmin: Kerusakan Hayati Ganggu Stabilitas Ekonomi
“Kita perlu biological mitigation berupa varietas yang climate resilient, bukan hanya beras tapi juga jagung dan kedelai,” katanya.
Prof. Rokhmin menegaskan persoalan skala lahan garapan sebagai hambatan struktural. Data BPS menunjukkan rata-rata lahan sawah di Jawa hanya 0,4 hektar, jauh dari batas economic of scale yang ideal, yakni 2 hektar. Ia juga mengingatkan tingginya laju alih fungsi lahan yang mencapai 60.000 hektar per tahun.
Ia menilai pulau Jawa dan Bali sebagai lahan paling subur “on earth”, sehingga perlu dijaga dari alih fungsi, terutama menjadi kawasan perumahan. Karena itu, ia meminta Menteri Pertanian menggunakan kewenangan untuk mencegah konversi lahan, terutama di daerah seperti Indramayu dan Cirebon.
Selain itu, penurunan kualitas tanah di Jawa juga menjadi perhatian. Ia mengutip hasil kajian IPB dan Litbang Pertanian yang menunjukkan terjadinya penurunan unsur hara dan komposisi mikroorganisme tanah.
“Back to pupuk organik,” tegas Rokhmin, seraya meminta pemerintah mengaudit produsen pupuk organik dan menutup yang bermasalah.
Masalah rantai pasok pangan kembali ia angkat sebagai persoalan yang harus ditata serius. Ia menyebut kondisi rantai pasok saat ini masih “terfragmentasi”: harga tinggi saat petani tidak panen, namun anjlok ketika panen raya.
Ia juga menyoroti kualitas alat mesin pertanian seperti combine harvester yang disebut tidak sebaik beberapa tahun lalu. Dalam temuan di Cirebon, pergantian merek menyebabkan kualitas tidak konsisten.
“Petani sangat terbantu dengan alsintan, tapi pastikan kualitasnya benar-benar baik,” ujarnya.
Terkait irigasi, Rokhmin menggambarkan kondisi lapangan sebagai “irigasi brutal”, mulai dari kerusakan hingga kekurangan pasokan air. Sementara untuk hama, ia mencatat bahwa gangguan tikus dan hama lain masih masif di Jawa Barat, terutama Indramayu.
Dalam penutup, Prof. Rokhmin menyinggung persoalan sawit sebagai komoditas strategis nasional. Ia menyampaikan keprihatinan terkait langkah Satgas PKH yang dinilai “geblau” dan “grusa-grusu” dalam mengambil tindakan.
Menurutnya, sejumlah perusahaan sawit yang sudah taat aturan justru ikut terseret dalam penindakan. Ia juga menyoroti 3,7 juta hektar lahan yang diambil alih dan menjadi aset Danantara, namun tidak dikelola dan malah dikembalikan lagi kepada pengusaha bermasalah.
“Selamatkan sawit dengan cara benar-benar diteliti. Kalau pengusaha yang nakal memang harus dibabat, tapi kalau yang baik, tolong dijaga,” tegasnya.
Prof. Rokhmin menutup dengan mengingatkan bahwa sektor pertanian menjadi tumpuan di tengah tingginya angka pengangguran serta lesunya industri tekstil. Ia menegaskan bahwa sumber pertumbuhan yang ada tidak boleh justru dihancurkan. Jika hal itu terjadi, katanya, “berdosa kita semua.”