Ikhbar.com: Fenomena Rojali alias ombongan jarang beli dan Rohana atau ombongan hanya nanya kian mencuri perhatian di pusat-pusat perbelanjaan. Sekilas tampak sepele, namun tren ini ternyata menyimpan dinamika psikologis yang lebih dalam.
Psikolog klinis dan forensik, Kasandra Putranto memaparkan bahwa perilaku tersebut tidak semata-mata soal keengganan membeli barang. Menurutnya, ada alasan psikologis yang melatari pengunjung datang beramai-ramai ke mal, mencoba produk, menanyakan harga, tetapi akhirnya tidak bertransaksi apa pun.
“Manusia memiliki lima tingkatan kebutuhan, mulai dari kebutuhan dasar hingga aktualisasi diri,” ujar Kasandra di Jakarta, pada Jumat, 26 Juli 2025.
Menurutnya, hierarki tersebut mencakup kebutuhan fisiologis, rasa aman, sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri.
Baca: Psikolog bukan Pemberi Nasihat, Tapi…
Ia menjelaskan, kegiatan seperti sekadar melihat-lihat atau menanyakan harga dapat menjadi cara seseorang memenuhi kebutuhan sosial, seperti berkumpul bersama teman atau sekadar melepas penat. Aktivitas ini juga bisa menjadi sarana aktualisasi diri, termasuk menunjukkan gaya hidup atau mendapatkan pengakuan sosial.
Menurut Kasandra, sebagian orang juga mungkin sengaja berperilaku seolah-olah ingin membeli demi menjaga citra diri di hadapan pramuniaga, rekan, atau bahkan dirinya sendiri.
“Ketika seseorang menyadari bahwa dia tidak mampu membeli barang yang diinginkan, tetapi tetap berada di lingkungan yang konsumtif, sering kali muncul konflik batin. Untuk mengatasi rasa malu atau tidak nyaman, mereka berpura-pura seolah siap membeli,” ungkapnya.
Fenomena ini juga berkaitan dengan konsep harga diri dan persepsi kontrol. Saat harga barang dianggap terlalu tinggi atau manfaatnya diragukan, keinginan untuk membeli bisa hilang dengan sendirinya, bahkan sebelum keputusan dibuat.
Lebih jauh, Kasandra menekankan bahwa kebutuhan akan identitas sosial juga menjadi pemicu utama. Mengunjungi pusat perbelanjaan modern atau toko-toko bermerek meski tanpa membeli, bisa menjadi cara seseorang menegaskan posisinya dalam kelompok sosial tertentu. Hal itu kerap kali berkaitan dengan keinginan untuk membuat konten media sosial, mendapatkan validasi daring, atau memperkuat eksistensi online.
“Hanya dengan masuk ke toko atau melihat-lihat produk tertentu, seseorang bisa merasa telah memperoleh nilai simbolik, meskipun tidak melakukan pembelian,” jelasnya.
Ia juga mengaitkan perilaku ini dengan norma budaya masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi tata krama. Sering kali, seseorang merasa perlu menghargai tenaga penjual dengan berpura-pura tertarik, meski tidak berniat membeli.
“Dalam budaya kita, ada semacam rasa sungkan. Pelanggan merasa perlu bersikap sopan dan menghargai usaha pramuniaga, salah satunya dengan berpura-pura tertarik,” tambah Kasandra.
Di sisi lain, ia menegaskan bahwa perilaku Rojali dan Rohana juga bisa dipahami sebagai bagian dari proses alami sebelum membeli. Dalam dunia pemasaran, ini dikenal sebagai pencarian informasi pra-pembelian.
“Window shopping atau mencari informasi sebelum membeli adalah perilaku normal dalam proses pengambilan keputusan konsumen,” tandasnya.