Ikhbar.com: Mahkamah Konstitusi (MK) menilai bahwa tudingan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang telah melakukan nepotisme terkait anaknya, Gibran Rakabuming Raka untuk maju menjadi cawapres dan memenangi Pilpres 2024 tidak terbukti.
Pernyataan tersebut merupakan bagian pertimbangan dalam putusan MK atas gugatan sengketa hasil Pilpres 2024 yang dilayangkan Anies-Muhaimin.
Pasangan Anies-Muhaimin mendalilkan bahwa Jokowi melakukan tindakan nepotisme dan telah melanggar Ketetapan MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelengara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepoisme; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; serta Pasal 282 UU Pemilu.
Sementara itu, pasangan Prabowo-Gibran lewat kuasa hukumnya menegaskan bahwa tudingan tersebut tidaklah tepat. Menurut mereka, nepotisme adalah tindakan apabila Presiden mengangkat anak atau saudaranya menjadi pejabat.
Baca: Syuraih Al-Harits, Hakim Anti-Nepotisme Teladan sepanjang Masa
Lebih lanjut, kuasa hukum Prabowo-Gibran menjelaskan, jika sang anak dipilih oleh rakyat untuk menduduki sebuah jabatan, maka itu bukan nepotisme. Karena itu, larangan nepotisme tidak boleh diartikan bahwa anak pejabat tidak boleh berkarir.
Sementara itu, Hakim Konstitusi, Daniel Yusmic Foekh mengatakan, majelis hakim tidak meyakini kebenaran dalil tersebut karena Anies-Muhaimin ataupun kuasa hukumnya tidak menguraikan dalil tersebut.
Di sisi lain, kata dia, majelis hakim menilai bahwa wakil presiden adalah jabatan yang pengisiannya melalui pemilihan, bukan penunjukan.
“Adapun jabatan yang terkait dengan larangan nepotisme adalah jabatan yang pengisiamya dilakukan dengan cara ditunjuk/diangkat secara langsung. Artinya, jabatan yang diisi melalui pemilihan umum tidak dapat dikualifikasi sebagal bentuk nepotisme,” kata Daniel dalam sidang pembacaan putusan di ruang sidang MK, Jakarta Pusat pada Senin, 22 April 2024.
Ia menjelaskan, Mahkamah berpendapat dalil Pemohon mengenai pelanggaran atas Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998, UU 28/1999, dan Pasal 282 UU Pemilu adalah tidak beralasan menurut hukum.