Ikhbar.com: Fenomena perkawinan anak masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Data Kementerian Agama (Kemenag) mencatat, sepanjang 2024 terdapat 4.150 pasangan menikah di bawah usia 19 tahun. Angka ini menunjukkan praktik perkawinan dini masih menjadi pekerjaan rumah besar, terutama dalam upaya perlindungan hak perempuan dan anak.
Founder Ngaji Keadilan Gender Islam, Ny. Hj. Nur Rofiah, menegaskan bahwa regulasi nasional sebenarnya sejak lama telah berusaha melindungi perempuan dari praktik pernikahan usia anak. Salah satunya melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menekankan asas monogami.
Pernyataan tersebut disampaikan Ny. Rofiah dalam kegiatan Learning Space Dialog bersama Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, pada Sabtu, 30 Agustus 2025.
“Asas monogami itu pada dasarnya melindungi perempuan, karena mencegah anak-anak menikah, hamil, atau menyusui di usia yang belum matang. Namun, saat itu aturan ini sempat dianggap bertentangan dengan Islam, hingga memicu perdebatan sengit antara aktivis dan ulama,” ujarnya.
Baca: Meniti Sejarah KUPI, Ulama Perempuan atau Perempuan Ulama?
Ia menjelaskan, beberapa regulasi penting lain seperti Undang-Undang Perlindungan Anak maupun UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) juga sempat mendapat penolakan dengan alasan agama.
“Larangan hubungan seksual dengan anak, bahkan dalam perkawinan, dianggap menyalahi pandangan yang membolehkan pernikahan usia dini. Begitu pula PKDRT, ditolak dengan alasan melarang suami memukul istri atau memiliki istri lebih dari satu,” jelasnya.
Dalam situasi inilah, KUPI hadir untuk melawan bentuk ketidakadilan yang muncul dari politik, budaya, ekonomi, hingga penafsiran agama yang keliru.
“KUPI bergerak bersama para pengambil kebijakan, ulama akar rumput, akademisi, dan aktivis untuk memastikan agama tidak lagi dijadikan pembenaran atas praktik yang menindas,” tegas Ny. Rofiah.
Pandangan serupa disampaikan Founder Mubadalah.id, KH Faqihuddin Abdul Kodir. Ia menilai KUPI berhasil mendorong perubahan besar dalam posisi ulama perempuan di ruang publik.
“Kalau dulu perempuan mondok hanya disiapkan menjadi istri kiai, kini banyak ulama perempuan yang justru berada di garis depan dalam pengambilan keputusan di pesantren. Itu salah satu pencapaian penting dari gerakan KUPI,” ujarnya.
Kiai Faqih juga menekankan pentingnya mengangkat pengalaman sukses perempuan agar lebih dikenal dan dijadikan rujukan.
“Kisah-kisah keberhasilan perempuan perlu diperbanyak, supaya pengalaman mereka bisa diapresiasi dan menjadi sumber pengetahuan baru,” tambahnya.