Ikhbar.com: Indonesia dihadapkan pada potensi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran usai Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump menerapkan kebijakan tarif impor baru terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia. Tarif bea masuk yang diberlakukan mencapai 32% dan dinilai akan memberikan pukulan telak bagi sektor industri nasional yang berorientasi ekspor.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal menyebut dampak kebijakan ini mulai terasa bahkan sebelum Idulfitri 2025. Sejumlah perusahaan, terutama yang bergerak di sektor manufaktur, telah menunjukkan gejala kegoyahan. Banyak dari mereka kini tengah menjajaki opsi efisiensi, termasuk kemungkinan melakukan PHK.
“Litbang KSPI dan Partai Buruh memperkirakan akan ada tambahan 50 ribu buruh yang berpotensi terkena PHK dalam kurun tiga bulan ke depan, setelah kebijakan tarif 32 persen diberlakukan per 9 April 2025,” kata Said Iqbal dalam pernyataan resminya pada Ahad, 6 April 2025.
Baca: Gelombang PHK di AS Incar Ratusan Ribu PNS
Ia menjelaskan, tarif impor tinggi yang dikenakan terhadap produk Indonesia membuat biaya produksi menjadi tidak kompetitif di pasar Amerika. Akibatnya, permintaan dari pasar ekspor menurun drastis, memaksa perusahaan mengurangi skala produksi, bahkan menutup operasional secara permanen.
Sektor-sektor yang paling rentan terhadap PHK, kata Said, mencakup industri tekstil, garmen, sepatu, elektronik, serta makanan dan minuman yang selama ini bergantung pada ekspor ke AS. Industri sawit, karet, dan tambang juga tak luput dari ancaman serupa.
“Kondisi ini diperparah oleh fakta bahwa sebagian besar perusahaan di sektor-sektor tersebut adalah milik investor asing. Jika mereka merasa iklim usaha tidak menguntungkan, mereka bisa dengan mudah memindahkan produksi ke negara lain yang tarifnya lebih rendah,” jelasnya.
Sebagai ilustrasi, industri tekstil Indonesia diprediksi akan kalah bersaing dengan Bangladesh, India, dan Sri Lanka yang tidak terkena bea masuk tinggi dari AS. Hal ini berpotensi memicu relokasi industri secara besar-besaran.
Said Iqbal juga mengingatkan pemerintah agar mewaspadai ancaman lain: banjir produk impor dari negara-negara yang kehilangan pasar ekspornya ke AS. Salah satunya adalah Tiongkok, yang menurutnya berpotensi mengalihkan produknya ke pasar Indonesia dalam bentuk barang murah, apabila tidak ada pengawasan ketat.
“Kalau dibiarkan, produk murah dari luar negeri akan membanjiri pasar domestik. Akibatnya, industri dalam negeri akan kian tertekan dan PHK pun semakin luas,” katanya.
Guna mengantisipasi krisis industri yang lebih dalam, Said Iqbal mendesak pemerintah mencabut Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 8 Tahun 2023. Regulasi ini dinilai membuka lebar kran impor dan memperlemah posisi industri lokal di tengah tekanan global.
“Permendag itu harus segera dicabut. Kalau tidak, kita akan menghadapi serbuan barang impor, pasar domestik dikuasai asing, dan ancaman PHK tidak akan bisa dihindari,” tegasnya.
Sayangnya, hingga saat ini belum terlihat adanya langkah konkret dari pemerintah pusat dalam merespons kebijakan dagang baru Amerika Serikat tersebut. Tidak ada strategi perlindungan industri nasional yang diumumkan, apalagi peta jalan (roadmap) yang bisa menahan laju PHK massal di sektor ekspor.
Jika pemerintah tidak bergerak cepat, maka dampak kebijakan ini bukan hanya dirasakan oleh kalangan pekerja, tetapi juga akan merembet ke stabilitas sosial dan ekonomi nasional.