Ikhbar.com: Istilah “Pengajian Caberawit” muncul sebagai temuan menarik dalam riset yang dilakukan cendekiawan muda Nahdlatul Ulama (NU), Ustaz Ahmad Ali, tentang sistem pendidikan di Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII).
Ustaz Ahmad mengungkapkan penemuannya itu ketika hadir sebagai narasumber dalam program LinesTalk LDIITV. Ia mengatakan riset tersebut menjadi bahan untuk buku ketiganya yang berjudul “Sistem Model dan Corak Pendidikan LDII di Indonesia dalam Platform Profesional Religius”.
Menurut Ustaz Ahmad, ketertarikannya meneliti LDII berangkat dari rasa ingin tahu tentang pondasi yang membentuk karakter warganya. Ia menilai pola pikir, perilaku, hingga kebiasaan sehari-hari anggota LDII tidak bisa dilepaskan dari konsep pendidikan yang mereka terima sejak dini.
“Saya penasaran pondasi apa yang dimiliki warga LDII. Apakah pendidikan di lembaga-lembaga LDII itu seragam? Bagaimana kurikulumnya? Semua ini butuh kajian mendalam,” ujarnya dikutip dari laman LDII pada Kamis, 11 September 2025.
Baca: Kemenag–LPDP Siapkan Rp150 Miliar untuk Riset Dosen dan Ma’had Aly, Cek Persyaratannya!
Dalam penelitiannya, Ustaz Ahmad menemukan istilah unik yang jarang terdengar di luar LDII, yaitu pengajian caberawit. Menurutnya, istilah ini digunakan untuk menyebut pengajian anak usia Sekolah Dasar (SD).
“Kalau di tempat lain biasa disebut pengajian anak-anak, di LDII dikenal dengan pengajian caberawit. Filosofinya, kecil-kecil sudah pedas. Artinya, meskipun masih anak-anak, mereka sudah dibekali pemahaman agama yang kuat,” jelasnya.
Ia menjelaskam, LDII memiliki dua jalur pendidikan, yakni formal dan nonformal. Pada jalur formal, lembaga pendidikan LDII menyelenggarakan sekolah mulai dari PAUD, TK, SD, SMP, SMA, SMK hingga perguruan tinggi. Meski sama dengan sekolah umum, perbedaan utamanya terletak pada kurikulum yang diajarkan.
Sementara pendidikan nonformal terdiri dari beberapa tingkatan, mulai dari pengajian caberawit, generus, muda-mudi, hingga pengajian umum seperti kelompok, ibu-ibu, dan pengajian bulanan. Di pesantren LDII, model pembelajaran pun beragam.
“Ada model klasik, yaitu santri reguler yang fokus menuntaskan target kurikulum Al-Qur’an dan Hadis. Ada juga model boarding school, di mana santri bisa sekaligus menempuh kurikulum pondok dan sekolah formal,” terangnya.
Lebih lanjut, Ustaz Ahmad menyebutkan LDII memiliki kurikulum khas, seperti pengajaran kitab himpunan hadis, penanaman enam tabiat luhur, serta konsep Tri Sukses Generus. Semua itu diajarkan dengan landasan Al-Qur’an, Hadis, dan maqalah sahabat.
Ia menilai, sistem pendidikan LDII cukup adaptif terhadap perkembangan zaman sekaligus menekankan pembentukan karakter sejak usia dini.
“Karakter dan akhlak tidak bisa muncul tiba-tiba, tapi harus ditanam dan dipupuk sejak kecil,” tegasnya.